(Oleh: Tedi Sutardi)
Garut Opini, Nusaharianmedia.com -Ketika sebuah pohon tumbang karena badai, itu adalah musibah alam. Tapi ketika pohon-pohon ditebang oleh tangan penguasa demi ambisi pembangunan, maka itu adalah musibah kebijakan.
Penebangan pohon yang terjadi di Jalan Patriot, Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, kembali mengingatkan kita pada wajah kekuasaan yang sering lupa pada batas.
Demi dalih “pembangunan”, demi label “proyek strategis”, pohon-pohon yang sudah puluhan tahun tumbuh menjadi peneduh, pelindung, dan penyaring udara, ditebang dengan ringan—seolah-olah tak ada ruh kehidupan yang hilang di sana.
Masalahnya bukan sekadar pohon yang ditebang, tapi cara kekuasaan memperlakukan ruang publik dan alam sebagai properti pribadi. Tak ada dialog dengan rakyat, tak ada pemberitahuan yang memadai, dan lebih parah lagi tak ada rencana konkret pengganti pohon yang telah dilenyapkan.
Pohon dan Kekuasaan
Pohon tidak bisa bicara. Ia tak bisa melawan. Ia diam ketika tubuhnya dilukai, ketika akarnya dicabut, ketika batangnya dipotong paksa oleh mesin-mesin yang digerakkan oleh keputusan di ruang rapat tertutup.
Namun di balik diamnya, pohon menyimpan peran penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Ia menyediakan oksigen, menyerap karbon, mencegah banjir, dan menjadi penjaga ekosistem.
Menebangnya tanpa pertimbangan ekologis adalah bentuk kebodohan yang disamarkan dengan label “pembangunan”.
Penguasa yang bijak tahu bahwa pembangunan tidak harus merusak. Tapi penguasa yang tamak akan melihat pohon hanya sebagai penghalang proyek, bukan sebagai penopang kehidupan.
Rakyat Kecil Tak Pernah Diajak Bicara
Masalah klasik dari kebijakan yang menyakiti rakyat adalah tidak adanya partisipasi publik. Masyarakat sekitar tidak pernah dimintai pendapat. Mereka hanya tahu-tahu melihat alat berat datang, lalu pohon-pohon diratakan, tanah diuruk, dan papan proyek dipasang dengan bangga. Rakyat tidak diajak bicara, apalagi dimintai persetujuan.
Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah subjek, bukan objek. Tapi hari ini, rakyat diperlakukan tak ubahnya bayangan—ada tapi dianggap tak penting.
Tanggung Jawab Moral dan Akhirat
Perlu diingat, kekuasaan itu bukan hak milik, melainkan amanah. Setiap pohon yang ditebang, setiap air mata rakyat yang jatuh karena kesewenangan, akan ditanya kelak di hadapan Allah SWT.
Pangkat dan jabatan tidak akan menjadi pembela ketika hisab datang. Justru akan menjadi beban yang memberatkan jika digunakan untuk menindas, bukan melayani.
Menebang pohon tanpa kebijaksanaan adalah menebas nurani. Menyakiti bumi berarti menyakiti generasi yang akan datang. Maka berhentilah berpikir bahwa kekuasaan adalah tiket bebas melakukan apa saja. Karena sesungguhnya, kekuasaan adalah ujian pdan tidak semua lulus.
Penutup
Kami tidak menolak pembangunan. Tapi kami menolak pembangunan yang membunuh kehidupan. Kami tidak anti proyek, tapi kami anti arogansi kebijakan yang menginjak hak publik dan merusak alam.
Kalau pembangunan butuh pengorbanan, jangan selalu rakyat dan pohon yang dikorbankan. Sudah cukup banyak yang tumbang karena kebijakan yang tuli.