Alih-alih menunggu masalah datang, desa ini memilih untuk bertindak cepat dan kolektif dengan menggandeng berbagai unsur masyarakat dan keamanan.
Langkah konkret itu diwujudkan dalam sebuah rapat koordinasi lintas sektor yang digelar pada Selasa (22/07/2025) di Aula Desa Sukabakti. Hadir dalam forum tersebut perwakilan Pemerintah Desa, kelompok Mitra Cai, Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), serta unsur keamanan dari kepolisian melalui Bhabinkamtibmas.
Dalam suasana yang penuh semangat gotong royong dan keprihatinan akan potensi krisis air, Kepala Desa Sukabakti, Wawan Gunawan, menyampaikan pesan kuat mengenai pentingnya proaktif dalam mengelola sumber daya air, khususnya dalam situasi rawan kekeringan.
“Air adalah sumber kehidupan. Tidak bisa kita kelola dengan asal-asalan. Musim kemarau ini akan jadi ujian, dan kita tidak boleh gagal. Kita harus solid sejak awal,” ujar Wawan tegas di hadapan para peserta rapat.
Ia menekankan bahwa Pemerintah Desa harus hadir bukan hanya saat persoalan muncul, melainkan sejak tahapan perencanaan, mitigasi, hingga evaluasi.
Membangun Skema Keadilan Air
Rapat ini tidak hanya menjadi ajang diskusi, melainkan forum pengambilan keputusan penting untuk menyusun ulang strategi pengelolaan air dan jadwal tanam petani. Salah satu langkah utama yang diputuskan adalah revisi jadwal giliran air demi pemerataan distribusi ke seluruh wilayah pertanian yang ada di desa.
“Jangan sampai ada yang merasa dianaktirikan. Kalau air tidak dibagi secara adil, potensi konflik akan muncul. Ini yang kita cegah sejak awal,” tambah Wawan.
Langkah tersebut disambut baik oleh P3A, yang langsung mengusulkan pemetaan ulang lahan kritis rawan kekeringan, agar distribusi air bisa diarahkan lebih efisien dan berbasis kebutuhan nyata.
Polisi dan Petani Satu Barisan
Menariknya, rapat ini juga menyoroti peran penting aparat kepolisian dalam menjaga ketertiban sosial selama musim kemarau.
Dalam hal ini, Aipda Dadan Sopian, selaku Bhabinkamtibmas Desa Sukabakti, menegaskan kesiapan institusinya untuk mendampingi dan mengawal distribusi air.
“Kami dari kepolisian tidak akan tinggal diam jika ada potensi kericuhan akibat perebutan air. Fungsi Bhabinkamtibmas di sini adalah menjembatani, menjaga, dan memediasi agar semuanya berjalan kondusif,” ujar Dadan.
Menurutnya, pengalaman tahun-tahun sebelumnya menunjukkan bahwa ketidakadilan dalam pembagian air seringkali menjadi sumber gesekan antarpetani. Dengan adanya kehadiran aparat sejak dini, potensi konflik bisa ditekan, bahkan dicegah sama sekali.
Hasil Rapat: Tiga Pilar Strategis Ditetapkan
Dari hasil rapat tersebut, beberapa keputusan penting langsung diambil sebagai langkah taktis jangka pendek dan menengah:
Pembentukan Tim Pemantau Distribusi Air Tim ini akan bekerja memantau jalannya pembagian air, memastikan sesuai jadwal dan skema yang telah disepakati.
Pendataan dan Pemetaan Lahan Kritis Fokus pada wilayah yang paling rawan kekeringan untuk menjadi prioritas dalam pendistribusian air.
Penyusunan Ulang Jadwal Gilir Air Irigasi
Melibatkan seluruh kelompok tani dan aparat desa agar skema pengairan berlangsung adil dan tidak memicu konflik.
Semua keputusan tersebut dibingkai dalam dokumen resmi berupa berita acara musyawarah, yang ditandatangani bersama oleh semua pihak yang hadir. Ini menjadi bukti konkret bahwa kolaborasi adalah kata kunci utama dalam menghadapi tantangan iklim di level desa.
Petani Apresiasi dan Merasa Dilindungi
Kebijakan yang responsif dan kolaboratif ini mendapat apresiasi luas dari para petani. Mereka merasa lebih dilibatkan, lebih dihargai, dan tidak merasa sendirian dalam menghadapi kemarau. Salah satu tokoh petani, Ujang Suryana, mengatakan bahwa inisiatif ini adalah langkah terbaik yang pernah dilakukan desa dalam menghadapi persoalan air.
“Kami jadi tenang. Sekarang tidak seperti dulu, di mana kami harus berebut air tanpa arah. Sekarang semua ada jadwal, ada pemantau, dan ada aparat yang siap turun tangan kalau ada masalah,” katanya.
Ketahanan Sosial Dimulai dari Akar Rumput
Langkah yang ditempuh Desa Sukabakti menegaskan bahwa resiliensi iklim bukan hanya urusan pemerintah pusat atau provinsi. Pemerintah desa dengan kewenangan terbatas sekalipun bisa menjadi aktor perubahan yang kuat jika mampu membangun kepercayaan, menyatukan komunitas, dan bertindak cepat dengan pendekatan partisipatif.
“Kita jaga air, dan air akan jaga kita. Kalau kita adil, air akan cukup untuk semua,” pungkas Kades Wawan, menutup forum dengan pernyataan yang memantik semangat kebersamaan.
Dengan kebijakan inklusif, pendekatan partisipatif, dan kolaborasi lintas sektor, Desa Sukabakti kini tampil sebagai contoh konkret bagaimana desa bisa menjadi benteng pertama dalam menghadapi ancaman krisis air akibat perubahan iklim.
Langkah ini tidak hanya mengantisipasi krisis, tetapi juga memperkuat fondasi sosial desa: solidaritas, keadilan, dan gotong royong. (Red)