Salah satu aktivis muda yang dikenal vokal di Kabupaten Garut, Eldy Supriadi, mengkritisi keras proses pemilihan yang dinilainya berpotensi cacat demokrasi. Ia menuding adanya upaya sistematis yang dilakukan oleh salah satu calon untuk mengatur suara demi kemenangan pribadi, bukan melalui proses yang sehat dan transparan.
“Kami mencium adanya aroma tak sedap dalam proses pemilihan ini. Biarkan pemilihan Ketua PGRI berjalan secara demokratis, tanpa tekanan, tanpa intimidasi, dan tanpa pengondisian suara oleh pihak-pihak yang berkepentingan,” tegas Eldy Supriadi, tokoh muda Garut yang juga merupakan Pemilik media Ruangrakyatgarut.id
Lebih lanjut, Eldy menekankan bahwa pemilihan ketua dalam organisasi profesi guru seharusnya mencerminkan nilai-nilai luhur pendidikan, seperti integritas, kejujuran, dan tanggung jawab. Menurutnya, jika dunia pendidikan ingin dipercaya kembali oleh masyarakat, maka proses demokrasi di dalam tubuh organisasi guru pun harus bersih dari praktik-praktik kotor.
“Organisasi sebesar PGRI harus menjadi panutan, bukan malah menciptakan preseden buruk. Jika benar ada intervensi, maka ini bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai profesi guru. Kita tidak ingin organisasi ini dijadikan alat untuk kepentingan kelompok atau individu tertentu,” tegasnya.
Tak berhenti sampai di situ, Eldy juga menyatakan kesiapannya untuk menempuh jalur hukum jika indikasi pelanggaran demokrasi terbukti. Ia dan timnya tengah mengumpulkan informasi dan bukti-bukti untuk dikaji secara hukum sebagai bentuk komitmen terhadap tegaknya demokrasi dalam dunia pendidikan.
“Jika terbukti adanya pelanggaran dalam bentuk pengondisian, tekanan, atau manipulasi, maka kami akan mengambil langkah hukum yang sesuai. Dunia pendidikan sedang disorot tajam, dan ini momentum penting untuk menunjukkan bahwa guru bukan bagian dari masalah, tapi bagian dari solusi,” ujarnya.
Pernyataan ini menguatkan kekhawatiran banyak pihak bahwa proses pemilihan di tubuh PGRI, yang seharusnya menjadi forum musyawarah dan demokrasi internal, justru berpotensi dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan politik atau kekuasaan sempit.
Di sisi lain,situasi ini dianggap telah mencederai semangat kolektif para guru yang menginginkan perubahan positif dan kepemimpinan yang bersih.
Beberapa guru di Kecamatan Pasirwangi yang enggan disebutkan namanya, juga mengeluhkan suasana pemilihan yang tidak kondusif. Mereka merasa seolah diarahkan untuk memilih kandidat tertentu, bukan berdasarkan kualitas dan rekam jejak, melainkan karena tekanan dari pihak yang dianggap memiliki “kuasa” di internal organisasi.
“Kami berharap ada transparansi dan netralitas. Jangan sampai pemilihan ini hanya formalitas untuk mengesahkan calon yang sudah ditentukan sebelumnya,” ujar salah satu guru kepada awak media. Selasa, (22/07/2025).
Masyarakat pun diminta turut mengawasi jalannya proses pemilihan, agar tidak ada ruang bagi praktik manipulatif. Selain itu, para pengurus PGRI di tingkat kabupaten juga diimbau untuk turun tangan dan memastikan bahwa seluruh proses pemilihan di tingkat kecamatan berjalan sesuai aturan organisasi dan prinsip demokrasi.
Sebagai organisasi profesi guru terbesar di Indonesia, PGRI memegang peran penting dalam menjaga marwah dan kehormatan dunia pendidikan. Oleh karena itu, setiap langkah organisasi, termasuk dalam hal pemilihan kepemimpinan, harus mencerminkan semangat kebersamaan, keterbukaan, dan integritas moral.
Kini, mata publik tertuju pada Kecamatan Pasirwangi. Masyarakat menanti apakah PGRI akan mampu menunjukkan komitmen terhadap demokrasi dan etika, atau justru terperosok dalam lubang hitam kepentingan kelompok.
Jika tak segera dibenahi, bukan tidak mungkin krisis kepercayaan terhadap organisasi ini akan semakin dalam, dan dampaknya bisa merembet luas ke berbagai sektor pendidikan di Garut. (Red)