(Oleh: Tedi Sutardi)
Dulu, hamparan hijau hutan menjadi penyangga kehidupan. Kini, yang tersisa hanya lahan tandus dan tebing-tebing curam yang sewaktu-waktu bisa longsor. Kerusakan ini bukan terjadi secara alami, melainkan akibat penambangan batu dan pasir ilegal yang merajalela tanpa kendali dan tanpa tanggung jawab.
Dampaknya begitu nyata. Sungai-sungai yang dulunya mengalir jernih kini berubah keruh, penuh lumpur hasil dari aktivitas tambang yang serampangan. Sawah dan kebun yang menjadi sumber kehidupan masyarakat rusak akibat erosi yang kian parah. Bahkan, ancaman banjir dan longsor menjadi momok yang setiap saat bisa merenggut nyawa.
Lebih ironis lagi, para pelaku tambang ilegal tampak tak tersentuh hukum. Mereka terus beroperasi dengan bebas, seakan memiliki kekebalan dari tindakan tegas.
Sementara itu, pemerintah yang diharapkan bertindak justru terlihat tak berdaya, bahkan terkesan menutup mata. Apakah mereka tidak menyaksikan kehancuran yang terjadi? Atau ada kepentingan lain yang lebih diutamakan dibandingkan keselamatan rakyat?
Dan seperti biasa, rakyatlah yang harus menanggung akibatnya. Ketika bencana datang, rumah-rumah hanyut, tanah warisan leluhur lenyap, dan nyawa melayang tanpa ada kepastian ganti rugi atau solusi nyata. Penderitaan ini terus berulang, seolah menjadi takdir yang tak terhindarkan.
Sampai kapan rakyat harus menjadi korban kerakusan segelintir orang? Jika hukum tak lagi berpihak, jika pemimpin tetap bungkam, maka sudah saatnya rakyat bersuara. Kerusakan ini bukan sekadar masalah lingkungan, tetapi tentang masa depan kita semua.
Jika kita diam, maka kehancuran ini akan terus berlanjut, meninggalkan generasi mendatang dengan warisan luka yang lebih dalam.