Aktivis pemberdayaan desa, Ahirudin Yunus, melontarkan kritik keras terhadap lemahnya pengawasan dan dugaan kelalaian Pendamping Desa dalam menjalankan peran mereka.
Sorotan ini mencuat setelah ditemukannya kasus di Desa Wangunjaya, Kecamatan Pakenjeng, di mana seorang warga yang terdaftar dalam DTKS sejak 2021 tidak pernah menerima haknya sebagai penerima manfaat PKH.
“Ini bukan hanya kesalahan teknis, tapi bentuk nyata kelalaian sistemik. Pendamping Desa justru seperti kehilangan arah dan fungsi utamanya,” tegas Ahirudin kepada media, Senin (02/06/2025).
Pendamping Desa Dinilai Hilang Fungsi Strategis
Ahirudin menyebut bahwa Pendamping Desa seharusnya menjadi pelaksana kunci dalam membantu warga miskin mengakses program bantuan, termasuk melakukan validasi dan pengawasan data. Namun, ia menilai banyak di antara mereka terjebak dalam rutinitas birokrasi dan kehilangan kepekaan terhadap kondisi sosial masyarakat desa.
“Mereka dibayar oleh negara, dari uang rakyat. Jangan cuma sibuk urus laporan, tapi buta terhadap kenyataan di lapangan,” ucapnya.
Kasus Wangunjaya Dinilai Hanya Puncak Masalah
Menurutnya, insiden ini bisa jadi hanya “puncak gunung es” dari berbagai kasus serupa yang tidak terekspos di desa-desa lain.
“Banyak warga memilih diam karena tidak tahu harus lapor ke mana. Sistem pengawasan kita lemah, dan lebih percaya pada data administratif ketimbang realitas di lapangan,” katanya.
Ahirudin pun mempertanyakan efektivitas mekanisme evaluasi dan monitoring terhadap Pendamping Desa, yang ia nilai lemah, tertutup, dan cenderung formalitas.
Desakan Evaluasi Serius oleh Kemendes PDTT
Ia mendesak Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Tenaga Pendamping Profesional (TPP), khususnya di Garut.
“PKH adalah program mulia. Jangan sampai ternoda hanya karena kinerja lapangan yang buruk. Pemerintah pusat harus turun tangan,” tegasnya.
Ia juga mendorong sistem pelaporan dan pengawasan yang lebih terbuka dan melibatkan masyarakat sipil, media, dan lembaga independen.
Bansos Harus Hadirkan Keadilan, Bukan Ketimpangan
Ahirudin mengingatkan bahwa setiap program bantuan bukanlah sekadar angka dalam dokumen.
“Di balik nama penerima ada harapan hidup. Jika mereka terabaikan, negara telah gagal menjalankan konstitusinya,” ujarnya.
Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk turut mengawal program bantuan sosial agar benar-benar menyentuh yang membutuhkan.
Penutup: Kembalikan Marwah Pendamping Desa
Kasus di Desa Wangunjaya menjadi peringatan bahwa sistem harus dibenahi. Pendamping Desa, menurut Ahirudin, harus kembali menjalankan peran pemberdayaan, bukan sekadar menjadi operator administrasi.
“Negara tak boleh kalah oleh kelalaian. Rakyat tak boleh jadi korban lagi. Semua pihak harus bertanggung jawab memastikan keadilan benar-benar hadir,” tutupnya. (DIX)