(Oleh: Diki Kusdian)
Opini, Nusahariaedia.com – Ada fenomena klasik yang terus berulang dalam dinamika kekuasaan: seseorang yang memegang kendali merasa berhak menunjuk siapa pun untuk duduk di kursi jabatan, bukan demi kepentingan publik, tapi demi membangun citra sebagai “sang pengatur”—sosok yang seolah-olah pahlawan, padahal hanya sedang mengamankan kepentingannya sendiri.
Orang seperti ini menempatkan dirinya di panggung utama, membagikan peran kepada para “pemain” yang ia pilih sendiri, bukan karena mereka terbaik, tapi karena mereka mudah diatur, patuh, dan bisa menjaga stabilitas zona nyamannya.
Sementara yang lebih mengkhawatirkan, seolah dengan memberikan jabatan kepada orang lain, ia telah berjasa besar bagi sistem, padahal yang terjadi adalah perusakan prinsip meritokrasi.
Dia menganggap dirinya mampu mengatur siapa pun, seolah semua orang bergantung padanya.
Namun, di balik semua itu, tersembunyi ambisi besar: mengukuhkan pengaruh, memperluas jejaring kekuasaan, dan memastikan tidak ada yang bisa mengganggu posisinya.
Padahal jabatan bukanlah alat pencitraan, bukan juga ajang pembuktian kuasa. Jabatan adalah amanah. Dan ketika amanah diberikan atas dasar kepentingan pribadi, bukan kepentingan masyarakat, maka yang muncul adalah sistem yang rapuh dan pelayanan publik yang tak berpihak pada rakyat.
Sudah saatnya kita kritis pada narasi-narasi semu tentang “pengabdian” dan “manfaat” yang hanya menjadi kamuflase dari manuver kekuasaan. Karena yang tampak seperti pahlawan, belum tentu benar-benar berpihak pada kebaikan bersama.