Dalam pernyataan yang disampaikan kepada wartawan, Tedi menyebut bahwa di tengah keterpurukan ekonomi yang menghantam rakyat kecil, elit politik justru sibuk berpesta pora, membagi-bagikan jabatan demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
“Rakyat sekarang semakin terjepit. Harga-harga barang naik, biaya hidup melonjak, pengangguran merajalela, dan akses pendidikan makin mahal. Tapi apa yang dilakukan para elit? Mereka malah sibuk berbagi kue kekuasaan, sibuk menyiapkan kursi bagi pendukung dan koleganya. Ini betul-betul tamparan bagi rakyat,” tegas Tedi. Rabu, (07/05/2025).
Menurut Tedi, seluruh kebijakan yang digadang-gadang untuk ‘kesejahteraan rakyat’ sejatinya dibiayai dari keringat rakyat itu sendiri. Pajak yang dipungut dari pedagang kecil, buruh, petani, nelayan, hingga pekerja kantoran menjadi modal utama pemerintah. Namun ironisnya, hasil dari keringat rakyat justru lebih banyak dinikmati oleh segelintir elit yang hidup dalam kenyamanan dan kemewahan.
“Mereka makan minum enak, anak-anak mereka sekolah di tempat terbaik, istri mereka pakai pakaian bagus, bahkan beli cangcut (pakaian dalam) pun dari uang rakyat. Sementara rakyat susah cari makan, anak-anak putus sekolah, biaya rumah tangga makin mencekik. Ini ketidakadilan yang tidak bisa terus dibiarkan,” katanya dengan nada tinggi.
Tedi menyebut praktik balas jasa politik menjadi salah satu akar masalah yang paling merusak tatanan pemerintahan saat ini. Menurutnya, bagi-bagi jabatan sudah bukan rahasia umum lagi, mulai dari kursi birokrasi, posisi strategis di BUMD, hingga proyek-proyek bernilai miliaran rupiah. Semua dibagi untuk memenuhi janji politik, bukan berdasarkan kemampuan atau integritas.
“Yang penting loyal, yang penting mendukung waktu kampanye, langsung dapat posisi. Padahal jabatan publik itu harusnya diisi oleh orang yang kompeten, bukan cuma sekadar bagi-bagi balas jasa. Akibatnya? Rakyat yang kena getahnya. Pelayanan publik buruk, proyek mangkrak, anggaran bocor di mana-mana. Rakyat dirugikan dua kali lipat,” tegasnya.
Dalam penilaiannya, praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) semakin menggurita di semua lini pemerintahan. Hal ini bukan hanya mencoreng wajah demokrasi, tetapi juga menghancurkan kepercayaan rakyat kepada para pemimpin.
“Jangan heran kalau sekarang banyak yang bilang politik itu kotor. Karena memang perilaku elitnya seperti ini, sibuk memperkaya diri, lupa pada janji-janji perubahan,” kata Tedi.
Ia juga mengingatkan bahwa sejarah sudah berkali-kali menunjukkan, kekuasaan yang abai terhadap jeritan rakyat pada akhirnya akan tumbang.
“Lihatlah sejarah, tidak ada kekuasaan yang abadi. Ketika rakyat sudah kehilangan kesabaran, gelombang kemarahan itu akan datang, dan saat itu terjadi, tidak ada yang bisa menyelamatkan elit dari amuk rakyat,” ujarnya mengingatkan.
Tedi pun mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama mengawasi jalannya pemerintahan. Ia menegaskan bahwa peran masyarakat sipil, media, dan lembaga pengawasan seperti KPK dan Ombudsman sangat penting untuk menekan praktik KKN. “Jangan takut bersuara. Jangan biarkan korupsi merajalela. Ini tugas kita bersama sebagai anak bangsa,” katanya.
Sebagai penutup, Tedi menyampaikan pesan khusus kepada para pemimpin dan elit politik: “Ingatlah, jabatan itu amanah. Kalian digaji dari keringat rakyat.
Jangan jadikan kekuasaan sebagai alat memperkaya diri atau keluarga. Rakyat sedang susah, jangan tambah beban mereka dengan ulah kalian. Kalau kalian tidak segera berubah, percayalah, sejarah akan mencatat kalian sebagai pengkhianat bangsa.”
Pernyataan keras Tedi mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk kalangan aktivis, akademisi, dan masyarakat umum. Banyak yang memuji keberanian Ketua LIBAS itu sebagai suara moral di tengah situasi politik yang semakin membusuk.
Mereka berharap suara-suara kritis seperti ini bisa menggugah hati para penguasa agar kembali berpihak kepada rakyat yang semakin tercekik oleh kesulitan ekonomi. (DIX)