Fenomena ini semakin marak, terlebih di era digital yang memungkinkan kedekatan semu dibangun lewat interaksi dangkal.
Menurut sejumlah tokoh muda dan pengamat sosial, sahabat sejati bukan hanya mereka yang sering hadir di sekitar kita, melainkan mereka yang memiliki ketulusan dan komitmen dalam menjaga hubungan secara jujur dan saling menghormati.
Namun sayangnya, nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kesetiaan, dan empati kini makin sulit ditemukan dalam lingkaran pertemanan.
“Banyak orang yang berpura-pura dekat, padahal dalam hatinya menyimpan rasa iri atau bahkan dendam. Mereka menunggu celah untuk menikam dari belakang,” ujar seorang aktivis muda di Garut, Ahmad Tamim, saat ditemui di sebuah diskusi publik bertema “Merawat Persahabatan, Menolak Pengkhianatan”, Sabtu malam (24/05/2025).
Ia menegaskan, sahabat sejati tidak akan memanfaatkan kita demi kepentingan pribadi. Justru, di saat kita jatuh atau terpuruk, mereka adalah orang pertama yang datang dan memberikan dukungan. Bukan malah menjauh, apalagi menyebar cerita negatif yang merusak nama baik.
Fenomena “pertemanan bermuka dua” kini tak hanya terjadi di kalangan remaja, tetapi juga merambah dunia profesional, organisasi, hingga politik.
Dalam banyak kasus, hubungan baik yang terjalin di permukaan ternyata rapuh karena dibangun atas dasar kepentingan sesaat.
Pengkhianatan dalam Diam
Salah satu bentuk paling menyakitkan dari pertemanan semu adalah pengkhianatan yang dilakukan secara diam-diam.
Banyak individu yang merasa dikhianati oleh orang yang mereka anggap sahabat, hanya karena tidak lagi memberikan keuntungan atau tidak sesuai harapan pribadi.
“Yang menyedihkan itu ketika kita sudah memberikan kepercayaan, berbagi rahasia, membantu dalam kesulitan, tapi kemudian dibalas dengan tikaman dari belakang. Orang seperti ini bukan sahabat, melainkan musuh dalam selimut,” ungkap Zamri, saat ditemui usai latihan pencak silat di Kecamatan Tarogong Kidul.
Ia mengajak masyarakat, khususnya generasi muda, untuk lebih berhati-hati dalam memilih sahabat. Menurutnya, pertemanan bukan soal siapa yang selalu ada saat senang, tetapi siapa yang tetap tinggal saat semua orang pergi.
Pentingnya Edukasi Emosional
Psikolog asal Garut yang bertugas di Jakarta, Tin Astuti, M.Psi, menyebut bahwa salah satu penyebab banyaknya pengkhianatan dalam pertemanan adalah minimnya edukasi emosional sejak dini. Banyak anak muda yang tidak diajarkan untuk membangun relasi sehat yang dilandasi empati, komunikasi terbuka, dan nilai-nilai integritas.
“Bukan hanya intelektual, kecerdasan emosional itu penting. Anak-anak harus diajarkan untuk memahami arti kepercayaan, menjaga rahasia, dan menghormati perbedaan. Tanpa itu, yang tumbuh adalah generasi yang saling memanfaatkan demi kepentingan pribadi,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya membangun lingkungan sosial yang suportif dan tidak toksik, agar pertemanan yang terbentuk dapat tumbuh secara sehat dan saling menguatkan.
Menjaga Persahabatan Sejati
Di tengah maraknya kisah pengkhianatan dalam pertemanan, masih banyak pula kisah inspiratif tentang sahabat sejati yang saling menjaga dan mendukung tanpa pamrih. Kisah-kisah seperti inilah yang seharusnya menjadi teladan dan diangkat ke permukaan, sebagai penyeimbang dari banyaknya contoh buruk yang ada.
“Persahabatan itu seperti tanaman. Kalau kita rawat dengan sabar, dia akan tumbuh dan berbuah. Tapi kalau hanya sekadar ditanam tanpa dirawat, cepat atau lambat akan layu,” pungkasnya.
Sebagai penutup, masyarakat diimbau untuk lebih selektif dalam menjalin hubungan sosial. Jangan mudah terbawa suasana atau percaya begitu saja.
Perhatikan siapa yang benar-benar hadir karena peduli, bukan karena butuh. Karena sahabat sejati tidak akan pernah menjadikan kita sekadar alat atau objek. Ia hadir sebagai pribadi yang tulus, yang tetap memeluk di kala dunia menjauh. (Red)