Hari ini, Selasa, 29 April 2025, genap 51 tahun usianya. Di balik senyum tenang dan mata yang teduh, tersimpan perjalanan hidup yang layak diteladani.
Lahir di Kota Padang, Sumatera Barat, pada 29 April 1974, Feni tumbuh di lingkungan yang sangat kental dengan nuansa militer. Ayahnya merupakan anggota TNI Angkatan Udara, yang bertugas di Komplek Hercules TNI AU. Di situlah Feni menghabiskan masa kecil dan remajanya—dunia yang penuh disiplin, ketertiban, dan semangat bela negara.
Di lingkungan itu pula Feni belajar banyak hal yang membentuk karakternya: tanggung jawab, kejujuran, serta keberanian menghadapi tantangan. Meski dibesarkan dalam suasana keras khas militer, Feni tetap tumbuh sebagai gadis Minangkabau yang memegang teguh nilai adat dan kelembutan peran perempuan dalam keluarganya.
Namun kehidupan Feni berubah ketika di usia 21 tahun ia bertemu dengan Taufik Hidayat, seorang pemuda Sunda kelahiran Garut, 3 November 1971, yang bekerja di PT Telkom Kandatel Padang.
Sementara, dari perkenalan itulah yang sederhana, tumbuhlah benih cinta yang membawa mereka pada gerbang pernikahan. Bagi Feni, keputusan itu adalah langkah besar—bukan hanya menjadi istri dari pria pilihan hatinya, tapi juga menjadi bagian dari budaya yang sangat berbeda dari tempat ia berasal.
Pernikahan Dua Budaya
Pernikahan Feni dan Taufik bukan hanya penyatuan dua insan, tapi juga dua budaya besar yang memiliki pandangan hidup berbeda. Budaya Minang yang matrilineal menjadikan perempuan sebagai pilar utama keluarga dan pewaris adat. Sementara budaya Sunda dikenal dengan kelembutan, kesahajaan, dan ketaatan pada hierarki keluarga yang patriarkal.
“Awalnya tentu tak mudah,” ujar Feni dalam sebuah perbincangan di rumahnya di Garut. “Saya harus belajar memahami bahasa, kebiasaan, dan cara berpikir yang berbeda. Tapi cinta membuat semua jadi lebih bisa dijalani.” Selasa, (29/04/2025).
Feni memilih untuk tidak menanggalkan identitasnya sebagai perempuan Minang. Namun ia juga berusaha sekuat tenaga untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Ia hidup di tengah masyarakat Sunda dengan penuh rasa hormat dan keterbukaan. Semangat “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” menjadi pedoman hidupnya.
Membangun Keluarga, Menanam Nilai
Dari pernikahannya dengan Taufik, Feni dianugerahi tiga putri cantik yang menjadi pusat kehidupan mereka: Inten Sundari, Adisti Damayati, dan Nazwa Hidayat. Ketiganya tumbuh dalam suasana keluarga yang penuh kasih, namun juga penuh ajaran nilai.
Feni tak hanya menjadi ibu rumah tangga. Ia adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Ia mengajarkan nilai-nilai Minang seperti “budi yang tinggi” dan “marwah perempuan”, sambil menanamkan kearifan lokal Sunda yang penuh toleransi dan kesantunan. Ia percaya bahwa akar budaya yang kuat akan menjadi fondasi bagi anak-anaknya menjalani kehidupan yang lebih luas dan kompleks.
“Anak-anak harus tahu mereka berasal dari dua kebudayaan besar. Mereka harus bangga dengan keduanya,” tuturnya.
Tiga Dekade Bersama, Bertahan dengan Cinta dan Komitmen
Memasuki usia pernikahan yang ke-30 tahun, Feni dan Taufik telah melewati berbagai badai kehidupan. Dari masalah ekonomi, penyesuaian budaya, hingga pergolakan batin sebagai pasangan yang tumbuh dalam sistem nilai berbeda. Namun semua itu mereka jalani dengan kepala tegak dan hati yang saling menggenggam.
Kini, Feni menjadi figur sentral dalam keluarga besar suaminya. Ia dihormati bukan hanya karena ia adalah istri dari anak tertua, tapi karena ia telah membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi jembatan yang kokoh di antara perbedaan. Ia menjadi pengikat nilai, penjaga harmoni, dan penggerak cinta dalam keluarga.
“Kalau ada yang bertanya bagaimana caranya kami bisa bertahan tiga dekade, saya hanya bisa menjawab: karena kami terus belajar saling memahami,” katanya.
Warisan yang Tak Kasat Mata
Feni Anggraeni mungkin bukan tokoh publik, bukan pejabat, bukan pula aktivis yang tampil di layar. Namun kisah hidupnya adalah representasi dari kekuatan perempuan Indonesia yang sesungguhnya—yang dalam diamnya, mampu memelihara nilai, mendidik generasi, dan menjembatani budaya.
Perjalanan hidupnya adalah cermin bagi kita semua: bahwa keberagaman bukan untuk dipertentangkan, tapi untuk dirangkul dan dijadikan kekuatan. Dan bahwa perempuan, dalam perannya sebagai ibu, istri, dan penjaga rumah tangga, adalah fondasi peradaban itu sendiri.
Selamat ulang tahun, Feni Anggraeni. Semoga kisahmu terus menginspirasi.(Red)