(Oleh: Diki Kusdian Pemimpin redaksi Nusaharianmedia.com)
Garut Opini, Nusaharianmedia.com – Seratus hari pertama setelah seorang pejabat dilantik sejatinya adalah waktu emas. Sebuah masa yang menentukan arah dan integritas kepemimpinan.
Tapi sayangnya, panggung kekuasaan sering kali menyembunyikan kisah lain di balik gemerlap lampu sorot.
Alih-alih menjadi ajang pembuktian visi dan misi kepada rakyat, 100 hari itu kerap berubah menjadi ruang kalkulasi politik.
Ruang di mana strategi pencitraan mulai dirancang, kursi-kursi kekuasaan diperdagangkan, dan loyalitas lebih dihargai daripada kapabilitas. Jabatan yang seharusnya menjadi instrumen pelayanan publik malah tergelincir menjadi alat tukar dukungan.
Bahkan tak jarang, proses pelantikan pejabat struktural pun menjadi bagian dari permainan, bukan soal siapa yang pantas, tapi siapa yang dekat. Inilah panggung belakang kekuasaan yang jarang disorot.
Ketika masyarakat berharap pada perubahan, yang muncul justru drama internal: wakil yang tak lagi sejalan dengan kepala, koordinasi yang berubah jadi kompetisi, dan pelayanan publik yang terombang-ambing dalam tarik-menarik kepentingan.
Bisa jadi, rakyat tidak melihat secara langsung apa yang terjadi. Tapi mereka bisa merasakan. Dari lambannya pelayanan, dari minimnya inovasi, dari wajah-wajah birokrat yang tampak tak antusias bekerja.
Haruskah setiap transisi kekuasaan selalu dibarengi sandiwara politik? Haruskah rakyat terus menjadi korban dari ambisi pribadi?
Pejabat publik bukan selebriti. Jabatan bukan panggung hiburan. Dan kekuasaan bukan alat permainan. Amanah yang dititipkan rakyat bukan untuk diselewengkan menjadi tiket menuju pemilu selanjutnya.
Jika memang serius ingin melayani, 100 hari pertama adalah waktu yang cukup untuk menunjukkan itikad baik. Tak perlu muluk-mulu, cukup tunjukkan ketulusan dan keberpihakan pada rakyat.
Karena sejatinya, kepemimpinan yang baik tidak dibentuk dari panggung sorotan kamera, tapi dari kerja nyata yang mungkin tak terlihat, tapi sangat terasa manfaatnya.