Bukan karena masalah yang lain – lain, tapi karena merasa tak sanggup menghadapi tekanan sosial dan kurangnya ruang komunikasi terbuka. Kasus ini bukan hanya tentang seorang siswa, melainkan gambaran nyata bahwa sistem pendidikan kita masih menyisakan celah, di mana mereka yang paling lemah sering terlewat dari perhatian.
Peristiwa ini menjadi sorotan setelah berkembang di media sosial dan memicu diskusi publik mengenai Dana Sumbangan Pendidikan (DSP) dan keadilan dalam akses pendidikan. Namun, setelah dilakukan penelusuran lebih dalam, ditemukan bahwa persoalan sebenarnya lebih kompleks dan menyentuh sisi psikologis serta relasi sosial antara siswa, keluarga, dan pihak sekolah.
Bukan Hanya Tentang DSP
Dugaan awal publik menyebutkan bahwa pengunduran diri ini dipicu oleh ketidakmampuan membayar DSP, sebuah sumbangan sukarela yang memang kerap menjadi polemik di banyak sekolah negeri. Namun klarifikasi dari pihak sekolah menunjukkan bahwa siswa tidak dikeluarkan dan tidak dipaksa membayar DSP.
Justru, siswa tersebut merasa minder karena tidak bisa berkontribusi sebagaimana teman-temannya. Tidak ada yang mengusir, namun diamnya sistem dan budaya komunikasi yang belum terbuka membuat siswa merasa terasing dan akhirnya menarik diri.
“Ini bukan soal uang. Ini soal perasaan. Saat siswa dari keluarga tak mampu merasa tidak cukup dihargai atau tidak punya tempat untuk menyampaikan kesulitannya, maka sistem itu gagal menyapa yang paling membutuhkan,” ungkap salah satu aktivis pendidikan di Garut yang enggan disebutkan namanya. Senin, (14/07/2025).
DPRD Garut Angkat Suara
Menanggapi kasus ini, Yudha Puja Turnawan, anggota DPRD Kabupaten Garut dari Komisi D yang membidangi pendidikan, dengan lantang menyatakan bahwa dunia pendidikan perlu lebih empatik, bukan sekadar administratif.
“Pendidikan bukan hak istimewa bagi yang mampu, tapi hak dasar bagi semua,” tegas Yudha dalam wawancara eksklusif.
Dia menekankan bahwa kasus ini adalah refleksi penting yang harus dijadikan titik balik untuk membangun sistem pendidikan yang tidak hanya kuat dalam regulasi, tetapi juga peka dalam implementasi sosialnya.
Ia menilai bahwa meskipun pemerintah daerah telah menyediakan berbagai program bantuan pendidikan seperti KIP dan BSM, namun kenyataannya, masih banyak siswa dari keluarga rentan yang tidak tersentuh karena minim informasi atau enggan mengungkapkan kondisi sebenarnya.
“Jangan sampai anak-anak kita tumbuh dalam diam dan luka. Pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman, bukan tekanan tambahan bagi mereka yang sudah terbebani oleh keadaan,” tambah Yudha.
Dorongan untuk Regulasi yang Tegas dan Adaptif
DPRD Garut kini tengah mendorong penyusunan peraturan daerah yang lebih tegas mengenai larangan pungutan atau sumbangan pendidikan yang bersifat memaksa. Yudha menyebut bahwa selama ini celah dalam regulasi membuat pungutan sering berbalut kata “sukarela”, padahal implikasinya bisa memicu rasa tertekan bagi siswa miskin.
Selain itu, ia menekankan pentingnya membangun pola komunikasi yang lebih manusiawi antara sekolah dan keluarga siswa. Menurutnya, pihak sekolah perlu diberikan pelatihan komunikasi empatik dan penguatan peran bimbingan konseling agar bisa menjadi jembatan antara siswa dan sistem pendidikan yang sering terasa asing dan dingin.
“Sekolah harus menjadi tempat yang tidak hanya mendidik, tapi juga memeluk dan menguatkan,” kata Yudha.
Komite Sekolah Harus Lebih Sensitif
Isu lain yang turut disoroti adalah peran komite sekolah. Dalam beberapa kasus, komite justru menjadi pihak yang mendorong penggalangan sumbangan tanpa mempertimbangkan situasi riil para orang tua. Hal ini dapat menimbulkan ketimpangan dan eksklusivitas yang tidak selaras dengan semangat pendidikan inklusif.
Yudha menyerukan agar komite sekolah merepresentasikan suara semua orang tua, bukan hanya segelintir yang mampu. Ia mengusulkan agar pembentukan komite dilakukan melalui mekanisme yang transparan dan melibatkan unsur masyarakat dari berbagai latar belakang ekonomi.
Membangun Sekolah yang Ramah Sosial
Kasus ini menggarisbawahi satu hal penting: sistem pendidikan kita belum sepenuhnya ramah sosial. Terlalu banyak keputusan teknis dan kebijakan administratif yang mengabaikan aspek emosional dan psikososial peserta didik.
Menurut data Dinas Pendidikan Kabupaten Garut, dari sekitar 150 ribu siswa di tingkat SMP dan SMA, lebih dari 20% berasal dari keluarga berpenghasilan di bawah garis kemiskinan. Jika pendekatan yang dilakukan hanya berbasis angka dan data, tanpa memperhatikan realitas sosial, maka kasus serupa bisa terulang bahkan lebih masif.
“Kita butuh sekolah yang tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga cerdas secara sosial,” tegas Yudha.
Kesimpulan: Saatnya Membangun Pendidikan yang Berhati
Kasus mundurnya siswa dari SMKN 2 Garut bukan hanya tentang satu anak. Ia adalah simbol dari banyak suara yang tak terdengar, dari banyak keluarga yang hidup dalam senyap, dan dari sistem yang kadang lupa bagaimana cara mendengar. Sudah saatnya dunia pendidikan di Garut dan seluruh Indonesia membuka mata dan hati.
Kita tidak sedang membangun gedung, tetapi masa depan. Dan masa depan itu tidak boleh hanya dimiliki oleh mereka yang mampu membayar, tetapi oleh semua anak bangsa, tanpa kecuali.
Pendidikan adalah hak. Tapi yang lebih penting, pendidikan harus menjadi tempat yang aman dan penuh empati, terutama bagi mereka yang selama ini selalu diabaikan. (Red)