Di antara korban, terdapat satu nama yang kini dikenang bukan sebagai korban biasa, melainkan sebagai pahlawan rakyat: Bripka Cecep Saeful Bahri (39), anggota Polres Garut, yang gugur setelah menyelamatkan seorang anak kecil dari kepadatan massa.
Satu Nyawa Selamat, Satu Pengorbanan Nyata
Bripka Cecep tidak sedang libur atau berpesta. Ia tengah bertugas mengamankan kerumunan warga yang membanjiri kawasan Pendopo untuk mengikuti acara makan gratis yang dibuka oleh pihak keluarga pejabat. Dalam situasi chaos, Cecep terlihat menggendong seorang anak kecil dan membawanya ke arah ambulans.
Tak lama setelah itu, tubuhnya roboh. Ia pingsan akibat kelelahan dan sesak napas. Meski sempat diberi pertolongan medis, nyawanya tak tertolong.
“Beliau gugur dalam tugas setelah menolong seorang anak kecil naik ke ambulans. Saat itu beliau lemas, pingsan, dan akhirnya meninggal dunia,” ungkap Kapolda Jabar Irjen Pol. Rudi Setiawan.
Cecep, Polisi yang Tidak Pernah Mencari Sorotan
Kabar kepergian Bripka Cecep pertama kali disampaikan oleh atasannya, Iptu Purnomo, Kanit Jatanras Polres Garut. Baginya, Cecep bukan sekadar bawahan, tapi kawan dan pribadi luar biasa.
“Cecep itu sederhana, tidak neko-neko. Dia lebih memilih bekerja daripada berbicara. Pengabdiannya pada warga sangat dalam. Dia tidak hanya bertugas, tapi hadir sepenuh hati,” kenang Purnomo.
Kepergian Cecep tak hanya dirasakan oleh rekan seprofesi, tapi juga oleh warga Garut yang mengenalnya sebagai sosok polisi yang ramah, tidak segan turun langsung membantu warga di lapangan.
Penghormatan Terakhir: Kenaikan Pangkat Luar Biasa
Sebagai bentuk apresiasi, Kapolda Jabar mengusulkan kenaikan pangkat luar biasa (KPLB) untuk almarhum Bripka Cecep ke Mabes Polri. Ini bukan sekadar formalitas, tetapi penghormatan bagi seorang Bhayangkara yang meninggal dunia karena menjalankan tugas kemanusiaan.
“Pengorbanan Bripka Cecep akan selalu dikenang,” ujar Kapolda dengan penuh haru.
Ketika Niat Baik Tanpa Antisipasi Berujung Maut
Tragedi bermula dari pembukaan makan gratis sebagai bagian dari “pesta rakyat”. Ribuan warga berdatangan sejak siang, memadati gerbang Pendopo. Tanpa sistem antrean dan pengamanan memadai, warga saling dorong. Beberapa jatuh, sebagian pingsan, dan tiga di antaranya meninggal dunia.
Dinas Kesehatan Garut mencatat 26 orang dilarikan ke rumah sakit, tiga di antaranya meninggal: dua warga dan satu anggota polisi.
Pengakuan Tanggung Jawab dan Janji Anak Asuh
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, ayah mempelai pria, secara terbuka mengakui tanggung jawab moral atas tragedi tersebut. Ia mengaku telah memperingatkan panitia untuk tidak membuka makan gratis secara massal.
“Saya sebenarnya sudah larang dari awal. Tapi saya yang tetap harus bertanggung jawab. Ini tragedi kemanusiaan,” ujar Dedi.
Ia juga berjanji akan menanggung penuh kebutuhan keluarga korban, termasuk mengangkat anak-anak korban sebagai anak asuh.
Garut Berduka, Rakyat Bertanya
Tragedi ini meninggalkan lebih dari sekadar luka. Ia meninggalkan pertanyaan yang tajam: “Apakah pesta para pejabat masih layak digelar megah, sementara rakyatnya harus berebut demi sesuap nasi?”
Bripka Cecep memilih berada di tengah rakyat. Ia berdiri, bukan di atas panggung pesta, tapi di bawah, di antara kerumunan, menyelamatkan satu nyawa kecil dengan taruhan nyawanya sendiri.
Kini, Garut mencatat namanya bukan sebagai pengaman pesta, melainkan sebagai pahlawan sejati.
Redaksi Nusaharianmedia.com mengajak seluruh pembaca untuk mengenang Bripka Cecep Saeful Bahri sebagai simbol pengabdian tanpa pamrih. Semoga keteladanannya menjadi cermin bagi para pemangku kekuasaan: bahwa melayani rakyat bukan soal panggung dan pesta, tapi tentang keberanian berdiri di antara mereka bahkan ketika maut mengintai. (Red)