Garut,Nusaharianmedia.com – Aktivis lingkungan sekaligus Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (Libas), Tedi Sutardi, kembali mengingatkan pentingnya menjaga kelestarian alam di tengah maraknya kerusakan lingkungan yang semakin memprihatinkan. Menurutnya, berbagai bencana alam yang terjadi belakangan ini menjadi bukti nyata bahwa alam memiliki mekanisme sendiri untuk “mengadili” setiap bentuk pelanggaran dan pengrusakan yang dilakukan manusia.
“Alam itu punya hukum sendiri. Kalau rusak, kalau daya dukungnya melemah, kalau daya tampungnya jebol, dia akan membalas. Dan hukum alam itu lebih cepat bekerja daripada hukum manusia,” tegas Tedi saat ditemui di RTH Kehati Eks Rumah Makan Copong Tarogong Kidul,Kabupaten Garut, Jawa Barat pada. Minggu, (04/05/2025).
Di sisi lain, Tedi juga menyoroti maraknya pengalihfungsian lahan dan pembukaan kawasan yang dilakukan tanpa memperhatikan analisis dampak lingkungan. Akibatnya, kawasan yang semula berfungsi sebagai resapan air, penahan erosi, dan pengendali iklim mikro, kehilangan perannya.
“Saat kawasan itu rusak, kita kehilangan tameng. Banjir, longsor, kekeringan, semua itu datang silih berganti. Itu alarm keras dari alam.
Tedi mengaku prihatin karena laporan maupun informasi terkait indikasi kerusakan lingkungan seringkali tidak mendapat tanggapan cepat dari pihak berwenang. “Kita sudah sering sampaikan, laporkan. Tapi birokrasi lambat. Respon lambat. Sementara alam tidak menunggu. Begitu hujan deras, longsor langsung terjadi. Begitu resapan hilang, banjir datang,” katanya.
Ia menambahkan, fenomena pemanasan global yang kini makin terasa turut memperburuk kondisi lingkungan. Menurutnya, suhu bumi yang kini melonjak di angka 17°C hingga 41°C telah membawa perubahan signifikan terhadap pola kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. “Suhu ekstrem ini bukan hanya soal panas. Ini soal krisis air, gagal panen, kematian satwa, sampai meningkatnya penyakit. Kita harus sadar, ini bukan masalah kecil,” tegasnya.
Lebih jauh, Tedi mengingatkan bahwa menjaga kelestarian lingkungan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi kewajiban bersama yang telah diatur oleh norma agama, budaya, dan hukum negara. “Dalam agama diajarkan, dalam budaya diajarkan, dalam hukum negara juga jelas tertulis: menjaga alam itu wajib. Tapi faktanya, banyak yang pura-pura tidak tahu, banyak yang abai,” ungkapnya.
Ia menilai, abainya sebagian pihak terhadap tanggung jawab menjaga alam akan membawa dampak yang lebih parah di masa depan. “Kalau terus dibiarkan, kerusakan akan makin parah. Bukan hanya banjir atau longsor, tapi krisis pangan, krisis air, bahkan krisis kemanusiaan bisa terjadi. Ini serius,” ujarnya.
Menurut Tedi, saat hukum negara berjalan lambat, hukum alam berjalan cepat, tegas, dan tanpa kompromi. “Kalau sudah bencana, semua kena. Tidak peduli siapa yang salah, siapa yang lalai. Alam menghukum kita semua. Itu sebabnya kita harus sadar sebelum terlambat,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Tedi juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk lebih aktif terlibat dalam upaya pelestarian lingkungan, mulai dari hal kecil seperti menanam pohon, tidak membuang sampah sembarangan, hingga mendukung kebijakan yang ramah lingkungan.
“Ini tugas kita bersama. Jangan nunggu bencana lebih besar baru mau bergerak. Karena kalau sudah rusak total, biaya memulihkannya lebih mahal daripada menjaga sejak awal,” jelasnya.
Tedi berharap, dengan kesadaran kolektif dan langkah nyata dari semua pihak, ancaman kerusakan lingkungan bisa diminimalisir.
“Alam ini titipan, bukan warisan. Kalau kita tidak jaga, anak cucu kita yang akan menanggung deritanya. Jangan sampai kita jadi generasi yang meninggalkan kehancuran,” tutupnya. (DIX)