Nusaharianmedia.com — Gelombang penolakan terhadap pengesahan RUU KUHAP yang disahkan DPR pada 18 November 2025 kembali menguat di daerah. Kali ini, Koalisi Mahasiswa Garut yang terdiri dari berbagai kampus dan organisasi kemahasiswaan di Kabupaten Garut menggelar aksi dan resmi menyampaikan pernyataan sikap di depan Gedung DPRD Garut, Kamis (20/11/25).
Ratusan mahasiswa menilai pengesahan RUU KUHAP dilakukan secara tergesa-gesa, minim transparansi, dan memuat banyak pasal bermasalah yang dinilai berpotensi mengancam hak-hak warga negara. Mereka menegaskan bahwa kebijakan tersebut bukanlah pembaruan hukum, tetapi “kemunduran besar dalam sistem peradilan pidana Indonesia.”
Proses Dinilai Tertutup dan Anti-Partisipasi Publik
Dalam orasinya, mahasiswa menyoroti fakta bahwa draf final RUU KUHAP diunggah kurang dari 24 jam sebelum pengesahan. Kondisi itu membuat partisipasi publik mustahil dilakukan dan bertentangan dengan prinsip pembentukan perundang-undangan yang seharusnya terbuka, transparan, dan melibatkan masyarakat.
“Kami menolak praktik legislasi yang terburu-buru dan tertutup. Publik berhak tahu, berhak terlibat, dan berhak mengawasi,” tegas salah satu perwakilan koalisi.
Deretan Pasal Dinilai Bermasalah
Dalam dokumen resmi pernyataan sikap, Koalisi Mahasiswa Garut menyoroti setidaknya tujuh kelompok pasal yang dinilai berbahaya, antara lain:
Pasal 5, 90, 93: Membolehkan penangkapan dan penahanan di tahap penyelidikan tanpa izin pengadilan, dinilai membuka ruang kesewenang-wenangan.
Pasal 23: Aduan masyarakat diproses internal tanpa batas waktu jelas, berisiko menghambat keadilan bagi korban kekerasan seksual.
Pasal 149–154: Pra-peradilan tak mengalami pembaruan dan mengabaikan putusan MK.
Pasal 16: Penyidik diberi kewenangan pembelian terselubung tanpa pengawasan hakim.
Pasal 7–8: PPNS disubordinasikan di bawah Polri, dinilai mengganggu penanganan kasus khusus seperti korupsi dan kehutanan.
Pasal 138, 191, 223: Sidang elektronik tanpa standar teknis jelas yang berpotensi mengancam asas keterbukaan sidang.
Pasal 329–330: Aturan peralihan dinilai berpotensi melemahkan UU KPK dan UU Tipikor.
Koalisi menilai pasal-pasal tersebut berpotensi memperlemah kontrol terhadap aparat dan membuka celah terjadinya rekayasa kasus.
Hilangnya Mekanisme Hakim Komisaris Dipertanyakan
Mahasiswa juga mempertanyakan hilangnya konsep hakim komisaris yang sebelumnya muncul dalam draf RUU KUHAP 2012. Menurut mereka, ketika kewenangan aparat diperluas, mekanisme pengawasan justru seharusnya diperkuat, bukan dihapus.
Desak Pengesahan Dua RUU Prioritas
Selain menolak RUU KUHAP 2025, Koalisi Mahasiswa Garut juga menuntut DPR segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat dan RUU Perampasan Aset, yang dinilai jauh lebih penting bagi kebutuhan masyarakat.
RUU Masyarakat Adat telah berada di Prolegnas sejak 2013 namun tak kunjung disahkan, sementara konflik agraria dan kriminalisasi masyarakat adat terus terjadi. Sementara itu, RUU Perampasan Aset dianggap penting untuk memastikan pelaku korupsi tidak lagi leluasa menyembunyikan atau memindahkan hasil kejahatan.
Tiga Tuntutan Utama Mahasiswa
Dalam aksi tersebut, mahasiswa menyampaikan tiga tuntutan besar:
1. Revisi menyeluruh terhadap UU KUHAP yang baru disahkan, dengan membuka ruang partisipasi publik serta memperkuat prinsip kontrol yudisial.
2. Pengesahan RUU Masyarakat Adat paling lambat tahun 2026, untuk menjamin perlindungan hak-hak masyarakat adat.
3. Pengesahan RUU Perampasan Aset, sebagai langkah serius memperkuat pemberantasan korupsi.
Aksi berlangsung tertib dan diterima oleh perwakilan DPRD Garut. Koalisi Mahasiswa Garut menegaskan bahwa tuntutan mereka bukan bentuk perlawanan semata, melainkan upaya mendorong negara agar hadir melalui sistem hukum yang lebih adil, transparan, dan berpihak kepada rakyat.
“Ini adalah perjuangan untuk masa depan hukum Indonesia,” tegas mereka dalam pernyataan penutup. (**)







