Apa yang seharusnya menjadi kenangan indah bagi siswa RA justru menghadirkan tekanan tersendiri bagi sebagian keluarga. Keluhan muncul akibat pemberitahuan yang mendadak dan keputusan sepihak dari pihak sekolah mengenai pungutan biaya pemotretan, tanpa adanya musyawarah bersama wali murid.
“Kami hanya diberi tahu anak-anak akan difoto, lalu tiba-tiba diminta membayar. Tidak ada rapat, tidak ada ruang diskusi. Seolah-olah wajib, padahal kami sedang kesulitan ekonomi,” ungkap seorang wali murid yang meminta agar namanya tidak disebutkan.
Kondisi ini membuka kembali perdebatan lama tentang ketimpangan akses pendidikan, terlebih pada jenjang PAUD seperti RA yang seharusnya menjadi ruang belajar yang ramah dan menyenangkan, bukan menambah beban sosial dan ekonomi.
Asep Mahmud: Pemotretan Bukan Ajang Komersial
Menanggapi situasi tersebut, aktivis peduli pendidikan Asep Mahmud memberikan pandangannya. Ia menyayangkan masih adanya praktik pungutan yang tidak transparan dan cenderung memaksakan kehendak pada orang tua.
“Ketika dokumentasi dijadikan ajang komersial oleh lembaga pendidikan, itu menyalahi hakikat pendidikan. Terlebih lagi jika dilakukan tanpa persetujuan atau musyawarah. Ini mencerminkan masih kuatnya kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan,” ujar Asep saat dihubungi NusaHarianMedia.com, Selasa (20/5/2025).
Asep menegaskan bahwa kegiatan pemotretan bukanlah hal wajib, dan tidak seharusnya dibebankan secara kolektif, apalagi kepada keluarga yang kondisi ekonominya lemah. Ia juga mengingatkan bahwa Surat Edaran Gubernur Jawa Barat secara tegas melarang adanya pungutan di jenjang pendidikan dasar dan RA.
“Masalahnya bukan cuma uang, tapi rasa keadilan. Banyak orang tua yang merasa terpaksa ikut karena takut anaknya dianggap berbeda atau dikucilkan jika tidak ikut foto,” tambahnya.
Desakan untuk Pemerintah dan Kemenag
Lebih lanjut, Asep menyerukan agar Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama di Kabupaten Garut turun tangan menelusuri kasus ini dan melakukan pembinaan kepada lembaga pendidikan yang masih memberlakukan pungutan terselubung.
“Pendidikan usia dini harus bebas dari tekanan komersial. Pemerintah tak boleh abai. Masyarakat pun harus berani bersuara, agar praktik-praktik seperti ini tidak terus terjadi dan membentuk ketidakadilan sejak dini,” ujarnya.
Ia menutup pernyataannya dengan ajakan kepada seluruh pihak untuk berkolaborasi menciptakan sistem pendidikan yang jujur, adil, dan menyenangkan bagi anak-anak.
“Pendidikan bukan ladang bisnis. Pendidikan adalah hak anak, dan tidak boleh berubah menjadi beban bagi orang tua yang sudah berjibaku dalam kehidupan sehari-hari,” tandas Asep (*)