Garut, Nusaharianmedia.com – Hari Kartini yang setiap tahun diperingati pada 21 April, selalu menjadi momen simbolik yang menyentuh emosi bangsa. Namun, di balik parade kebaya, puisi, dan potret R.A. Kartini yang terpampang di aula perkantoran, tersimpan ironi mendalam.
Dikatakan Angling, dalam hal ini masih banyak perempuan yang hidup dalam ketidakadilan, menjadi korban kekerasan, dan tak mendapat perlindungan yang semestinya dari negara, termasuk pemerintah daerah.
Kritik Tajam pada Seremonial dan Simbol Semata
Di sisi lain, Angling juga menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap cara peringatan Hari Kartini yang cenderung seremonial.
“Kita rayakan Hari Kartini dengan kebaya, pawai, dan puisi. Tapi bagaimana dengan perempuan yang menangis dalam diam, karena menjadi korban rudapaksa dan pelecehan, namun tidak mendapat keadilan?” ujarnya. Senin, (21/04/2025).
Menurut Angling, bangsa ini telah terlalu lama terjebak pada glorifikasi simbolik tanpa keberanian menghadapi realita. Ia menyebut bahwa peringatan Hari Kartini sering kali dijadikan panggung formalitas tanpa sentuhan konkret terhadap nasib perempuan yang sesungguhnya.
Sorotan Tajam ke Arah Pemkab Garut
Dalam pernyataan yang blak-blakan,
dia menyoroti Pemerintah Kabupaten Garut, khususnya Bupati, yang dinilainya gagal menunjukkan keberpihakan serius terhadap isu kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Apa kabar Pak Bupati? Apakah Anda tahu ada berapa perempuan yang menjadi korban kekerasan tahun ini di Garut? Sudahkah Anda membangun shelter aman di tiap kecamatan? Apakah sekolah-sekolah kita sudah punya kurikulum pencegahan kekerasan?” tanya Angling retoris.
Ia menegaskan bahwa Pemkab Garut tampak lebih sibuk dengan agenda tahunan dan pencitraan ketimbang menghadirkan sistem perlindungan nyata bagi korban kekerasan. “Kita butuh tindakan nyata, bukan pidato tahunan,” tambahnya.
Kekerasan Meningkat, Sistem Masih Gagal Melindungi
Dalam paparannya, Muhammad Angling mengungkapkan data internal dan laporan masyarakat yang diterima RRG terkait peningkatan kasus kekerasan seksual di Garut dan kawasan Priangan Timur. Ia menilai bahwa sistem hukum masih sering abai, bahkan cenderung menyudutkan korban.
“Korban tidak hanya mengalami luka fisik dan trauma psikis, tapi juga luka sosial akibat stigma dan ketidakjelasan hukum. Banyak kasus yang mandek di penyelidikan, atau malah diselesaikan secara kekeluargaan tanpa keadilan bagi korban,” katanya.
Ia menyebut bahwa akar masalahnya bukan semata pada pelaku, tapi juga pada sistem negara yang belum berpihak.
“Negara masih gagal melindungi perempuan. Bahkan pemerintah daerah seperti belum punya roadmap yang jelas untuk menangani persoalan ini secara struktural,” katanya.
Dorongan untuk Membangun Gerakan Sipil
Sementara Angling juta telah menyerukan pentingnya membangun kekuatan masyarakat sipil yang mandiri dan tak bergantung pada pemerintah. Ia mengusulkan pembentukan posko pengaduan kekerasan berbasis komunitas, tim pendamping psikososial, serta edukasi publik yang menjangkau sekolah, pesantren, hingga lingkungan terkecil seperti RT dan RW.
“Perempuan punya hak atas tubuhnya, atas hidup yang aman dan bermartabat. Dan itu bukan hanya tugas pemerintah, itu tugas kita semua,” tegasnya.
Ia juga mengkritik aparat penegak hukum yang kerap kali tidak sensitif terhadap korban. “Masih banyak laporan korban yang dipertanyakan, dianggap bohong, atau malah disarankan untuk mencabut laporan. Ini budaya patriarki yang masih kuat, dan harus segera diubah,” tambahnya.
Menanti Langkah Nyata dari Pemerintah
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak Pemkab Garut terhadap pernyataan Angling.
Publik kini menanti: apakah kritik ini akan dijawab dengan kebijakan yang konkret, atau kembali tenggelam dalam alunan seremoni tahunan.
Hari Kartini 2025 di Garut menjadi potret tentang dua wajah: satu dipoles dalam simbol dan pesta, satu lagi sembunyi di balik sunyi, mewakili suara para perempuan yang masih menanti perlindungan.
Suara Muhammad Angling Kusumah, SM ini bukan sekadar kritik. Ia adalah cermin dari realita yang tak bisa lagi disangkal. Bahwa memperingati Kartini tak cukup dengan bunga dan puisi, tapi dengan keberanian untuk membela yang terpinggirkan. (Red)