Nusaharianmedia.com — Insiden tidak menyenangkan dialami sejumlah wartawan di Kabupaten Garut, Rabu (29/10/2025). Para jurnalis dari berbagai media yang hendak meliput kegiatan Audiensi Program Digitally Enable District (DED) di ruang rapat Kantor Dinas Kesehatan Garut, harus menelan kekecewaan lantaran tidak diberi akses informasi oleh pihak penyelenggara.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, wartawan memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi guna kepentingan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1).
Kegiatan audiensi tersebut diketahui dihadiri oleh unsur Bappeda, Dinas Kesehatan, DPMPD, dan Diskominfo Garut. Wartawan menilai program DED penting untuk diliput karena berkaitan langsung dengan pelayanan publik berbasis digital, terutama dalam pengelolaan data kesehatan yang integratif dan kolaboratif. Namun, pihak-pihak yang hadir, termasuk Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Garut, justru enggan memberikan keterangan apapun kepada awak media.
Para jurnalis yang sudah menunggu sejak pagi hingga siang merasa dilecehkan dan tidak dihargai profesinya. Mereka menilai sikap bungkam dan penghindaran dari pejabat publik tersebut merupakan bentuk pembatasan terhadap kerja-kerja jurnalistik dan mencederai semangat transparansi publik.
Salah seorang wartawan senior di Garut dengan nada kecewa menyampaikan akan menempuh jalur hukum bila hal serupa terus terjadi.
“Ku saya mah bakal ditulis. Lamun kieu terus, sy rek nempuh jalur hukum sesuai UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik,” ujarnya tegas.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan:
“Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan informasi yang diperlukan oleh wartawan, atau memberikan informasi yang tidak benar, dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama dua (2) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Para wartawan berharap Pemerintah Kabupaten Garut, khususnya para pejabat publik, lebih terbuka dan menghormati hak pers, sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan undang-undang.
Mereka menegaskan, keterbukaan informasi adalah pondasi utama tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan merupakan bentuk tanggung jawab moral kepada masyarakat.
“Kami tidak minta lebih. Kami hanya menjalankan tugas jurnalistik untuk kepentingan publik. Kalau akses informasi dibatasi, lalu bagaimana masyarakat bisa tahu kinerja pemerintahnya?” ujar salah satu wartawan lokal.
Wartawan lainnya menambahkan, peristiwa ini seharusnya menjadi cambuk bagi Pemkab Garut untuk segera melakukan evaluasi internal terhadap pejabat atau ASN yang tidak memahami pentingnya transparansi dan kemitraan dengan media.
Kritikan Keras untuk Pejabat Publik yang Menutup Diri
Insiden ini mendapat kritikan keras dari komunitas pers dan pemerhati media di Garut. Mereka menilai sikap tertutup pejabat publik menunjukkan minimnya pemahaman terhadap Undang-Undang Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik.
“Ini bukan sekadar persoalan teknis. Ini soal sikap. Kalau pejabat publik menutup diri dari media, berarti menutup diri dari rakyat. Karena pers adalah jembatan antara pemerintah dan masyarakat,” tegas salah satu aktivis media Garut.
Para jurnalis mendesak Bupati Garut dan Diskominfo selaku lembaga pengampu informasi publik untuk menegur keras pejabat yang melanggar aturan tersebut dan memastikan tidak ada lagi pembatasan akses informasi bagi insan pers di masa mendatang.
Penegasan
Wartawan menegaskan bahwa tindakan penghalangan terhadap kerja jurnalistik bukan hanya melanggar etika, tetapi juga bisa berimplikasi hukum.
Mereka menuntut agar Pemkab Garut segera membuat mekanisme koordinasi yang lebih baik antara OPD dan media untuk memastikan hak publik atas informasi tidak terhalangi.
“Keterbukaan bukan pilihan, tapi kewajiban. Dan pers bukan musuh, melainkan mitra strategis dalam membangun Garut yang lebih transparan,” tutup pernyataan bersama para jurnalis. (Hil)
