Namun dalam beberapa tahun terakhir, wajah alam Garut berubah. Kerusakan lingkungan kian mengkhawatirkan, ditandai dengan meningkatnya bencana longsor, banjir, hingga kekeringan akibat degradasi ekosistem yang terus terjadi.
Kondisi ini memicu keprihatinan banyak pihak, termasuk dari kalangan masyarakat sipil. Salah satu gerakan yang kini tampil ke garis depan adalah Rakyat Peduli Garut (RAGAP), yang menggandeng Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS) dalam sebuah inisiatif besar bertajuk “Garut Hijau Kembali.”
Gerakan ini menargetkan kawasan-kawasan kritis yang telah lama terdampak aktivitas perusakan lingkungan, seperti kawasan hulu Sungai Cimanuk, lereng Gunung Cikuray, hingga daerah rawan longsor dan banjir.
Komitmen Nyata, Bukan Seremoni
Ketua Koordinator RAGAP, Ganda Permana, S.H., menjelaskan bahwa gerakan penghijauan ini tidak lahir dari euforia atau simbolisasi belaka, melainkan sebagai bentuk keprihatinan mendalam terhadap situasi lingkungan yang kian terpuruk.
“Kami memulai langkah ini sebagai wujud tanggung jawab sosial terhadap lingkungan yang makin rusak. Namun, yang paling penting dari semua ini adalah komitmen kita bersama untuk tidak mengulang kerusakan. Setelah kami hijaukan, kami minta dengan tegas: jangan rusak kembali lingkungan kami,” ujar Ganda dalam pernyataannya kepada awak media pada Kamis (01/05/2025).
Ia menekankan bahwa perusakan vegetasi, alih fungsi lahan tanpa kajian lingkungan, serta aktivitas pertanian dan pembangunan yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan telah menyebabkan kerentanan ekologis di berbagai titik di Garut.
Ganda juga menekankan pentingnya kolaborasi semua pihak, mulai dari pemerintah, pelaku usaha, komunitas, hingga warga biasa. “Ini bukan soal siapa yang memulai, tapi siapa yang mau menjaga. Lingkungan adalah warisan untuk generasi kita berikutnya. Jika sekarang kita tanam, maka esok harus kita rawat bersama-sama.”
Tidak Cukup Menanam, Harus Menjaga
Senada dengan itu, Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), Tedi Sutardi, yang dikenal konsisten menjaga kawasan Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cimanuk, menegaskan bahwa penghijauan tidak akan bermakna tanpa komitmen menjaga hasilnya.
“Kami bisa tanam ribuan pohon, bisa tanam kembali hutan-hutan yang gundul, tapi kalau setelah itu tidak dijaga, maka semua akan sia-sia. Kami ingin gerakan ini menjadi kesadaran kolektif. Setelah kami hijaukan, jangan rusak kembali lingkungan kami. Dengan kolaborasi dan satu hati, mari kita lestarikan alam,” ucap Tedi dengan tegas.
Menurutnya, menjaga lingkungan bukan hanya tanggung jawab aktivis atau kelompok pemerhati lingkungan, tetapi kewajiban bersama sebagai warga yang hidup dan bergantung pada alam Garut.
Edukasi dan Aksi Berkelanjutan
Tak hanya fokus pada penanaman, RAGAP dan LIBAS juga menyiapkan rangkaian program lanjutan berupa edukasi lingkungan kepada masyarakat sekitar, pelatihan pertanian ramah lingkungan, dan pembentukan tim pengawas partisipatif di area-area konservasi. Upaya ini diharapkan dapat menciptakan perubahan perilaku masyarakat secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Program ini juga menggandeng elemen-elemen pendidikan dan pemuda melalui gerakan “Satu Orang Satu Pohon,” di mana pelajar hingga kelompok pemuda diajak untuk menanam sekaligus bertanggung jawab terhadap satu pohon yang mereka tanam.
Ribuan bibit pohon keras seperti mahoni, puspa, damar, hingga albasia telah disiapkan untuk ditanam secara bertahap. Lokasi penanaman diprioritaskan pada wilayah yang secara ekologis paling rawan dan terdampak kerusakan.
Harapan untuk Masa Depan Garut
Di akhir pernyataannya, baik Ganda Permana maupun Tedi Sutardi menegaskan bahwa keberhasilan gerakan ini tidak bisa disandarkan pada satu-dua kelompok saja. Ini harus menjadi gerakan moral yang ditumbuhkan di seluruh lapisan masyarakat Garut.
“Kami hanya memulai. Tapi menjaga dan merawatnya, itu tugas kita bersama. Jika hari ini kita tanam, maka esok harus kita jaga. Untuk anak cucu kita, untuk Garut yang lebih hijau, lebih lestari,” tutup Tedi dengan harapan besar terhadap masa depan bumi Intan Garut. (Eldy)