Garut, Nusaharianmedia.com – Pemerintah Kabupaten Garut tengah bersiap melaksanakan pelantikan terhadap tujuh pejabat baru untuk mengisi jabatan strategis di lingkungan birokrasi.
Namun, alih-alih menjadi momentum penyegaran organisasi, proses ini justru menjadi bahan perbincangan luas. Isu adanya intervensi politik, nama-nama “titipan”, hingga dugaan adanya kompromi kekuasaan mulai merebak dan menodai harapan publik akan birokrasi yang bersih dan profesional.
Sedangkan menurut isu dan Informasi yang dihimpun dari berbagai sumber menyebutkan bahwa pelantikan akan dilakukan dalam waktu dekat. Jabatan yang akan diisi meliputi posisi penting di dinas teknis, pengelolaan keuangan, hingga pengawasan internal. Ketujuh posisi ini dianggap vital, karena bukan hanya menentukan arah kebijakan sektoral, tetapi juga mengontrol jalannya program-program pembangunan daerah.
Momentum Strategis di Tahun Politik
Pelantikan ini menjadi sangat sensitif karena berhubungan dengan tahun politik. Ya seperti di Kabupaten Garut,Jawa Barat khususnya. Banyak pihak menduga bahwa mutasi dan rotasi ini tidak bisa dilepaskan dari upaya kelompok tertentu untuk mengamankan basis pengaruh pasca Pilkada 2024.
“Pelantikan harus betul-betul diawasi ketat. Apalagi jika ada indikasi bahwa yang akan dilantik punya hubungan dekat dengan elite atau tokoh politik tertentu,” ujar seorang pengamat pemerintahan yang enggan disebutkan namanya.
Netralitas Birokrasi Dipertaruhkan
Di tengah sorotan ini, Bupati Garut, Syakur Amin, menjadi sosok kunci. Ia memiliki kewenangan penuh untuk menetapkan siapa yang layak menduduki jabatan tersebut. Namun, di saat yang sama, ia juga harus mampu menjaga netralitas dan profesionalitas pemerintahan.
“Bagi seorang Bupati, ini adalah ujian kepemimpinan dan integritas. Jika beliau terbukti memproses pelantikan secara objektif dan meritokrasi, maka kepercayaan publik akan menguat. Tapi kalau ada permainan, maka sejarah akan mencatatnya sebagai kegagalan moral,” katanya.
Dia juga mengingatkan agar birokrasi tidak dijadikan alat transaksi. “Jabatan publik bukan barang dagangan yang bisa ditukar dengan loyalitas atau dukungan politik. Harus ada evaluasi kinerja yang obyektif dan basis profesional yang jelas,” tegasnya.
Isu Titipan Kian Kuat
Dugaan isu mengenai nama-nama yang “dititipkan” oleh kelompok tertentu dalam pelantikan ini makin kuat. Sejumlah pihak mengaku mendengar adanya pertemuan-pertemuan informal yang membahas “bagi-bagi kursi” birokrasi. Bahkan, ada dugaan bahwa beberapa calon pejabat telah “dipesan” jauh hari sebelum proses seleksi berlangsung.
Riki Rustiana, seorang praktisi politik,pengamat sosial sekaligus sebagai wartawan senior Garut, dengan tegas menyuarakan keprihatinannya.
“Kalau proses ini tidak transparan, maka yang terjadi adalah pelembagaan korupsi politik. Hari ini titip nama, besok minta proyek, lalu berakhir dengan pembiaran penyimpangan. Ini tidak bisa dibiarkan.” ujarnya. Jum’at, (18/04/2025).
Menurutnya, sistem pemerintahan daerah akan melemah jika jabatan diisi bukan berdasarkan kapasitas, melainkan kedekatan.
Tuntutan Transparansi
Publik, melalui berbagai kanal media sosial dan forum diskusi, mulai menggugat keterbukaan proses ini. Tidak sedikit yang meminta agar Pemkab Garut mengumumkan kriteria seleksi, daftar kandidat, serta indikator penilaian yang digunakan.
“Kalau semua dilakukan tertutup, maka wajar kalau publik menaruh curiga. Pemerintah daerah harus membuka proses ini. Bukan hanya karena tekanan, tetapi sebagai bentuk penghormatan terhadap prinsip akuntabel” ungkapnya.
Riki menambahkan bahwa keterbukaan tidak hanya penting untuk mencegah spekulasi negatif, tapi juga untuk membangun legitimasi sosial terhadap para pejabat yang dilantik.
Peran Masyarakat Sipil
Sejumlah LSM dan komunitas pemerhati kebijakan publik mulai bergerak mengawal proses pelantikan ini. Mereka menyiapkan kajian, data rekam jejak para calon pejabat, hingga memantau jalannya keputusan. Tujuannya satu: memastikan bahwa kekuasaan tidak digunakan untuk kepentingan sempit.
“Kami akan mengawal, dan jika ditemukan pelanggaran, kami tidak segan melaporkan ke Ombudsman atau KASN,” ujar perwakilan dari salah satu LSM di Garut.
Akhir Kata: Birokrasi untuk Siapa?
Pelantikan pejabat seharusnya menjadi wujud dari profesionalisme birokrasi, bukan ajang pembagian kue kekuasaan. Jika proses ini dibajak oleh kepentingan politik, maka yang dirugikan adalah masyarakat. Mereka yang selama ini menggantungkan harapan pada pelayanan publik yang adil, cepat, dan akuntabel.
Garut sedang menatap masa depan. Siapakah yang akan mengarahkan langkahnya, mereka yang bekerja dengan integritas, atau mereka yang ditunjuk karena kedekatan?
Satu hal yang pasti: publik tidak boleh diam. Karena birokrasi yang kuat hanya bisa dibangun jika warga negara bersuara dan terus mengawasi. (Red)