Polemik ini mencuat setelah Kantor Hukum TM & Partners mengirimkan somasi kepada Badan Penyuluhan dan Pembelaan Hukum (BPPH) Pemuda Pancasila Jawa Barat. Dalam surat bernomor 015/TM & Partners /Somasi / V/2025, mereka membela kliennya, Tonny Kusmanto alias Koh On-on, sebagai pembeli sah tanah tersebut. Pihak TM & Partners menyebut transaksi dilakukan secara legal dan tanpa cacat prosedural, berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Semua legalitas telah diverifikasi. Tanah ini dibeli dengan harga wajar, tanpa ada status sengketa atau sita,” ungkap Tomi Mulyana, SH, MH, M.Kom., selaku kuasa hukum, Senin (12/05/2025).
Namun, klaim itu dibantah tegas oleh keluarga besar ahli waris yang menyatakan bahwa tanah tersebut telah lama diwakafkan. Rd. Abdul Azis Syah Ma’muni, juru bicara keluarga, menegaskan bahwa transaksi yang terjadi tidak sah secara hukum maupun agama karena melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
“Tanah ini bukan milik pribadi lagi. Ia milik umat. Tanpa izin dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Menteri Agama, segala bentuk jual beli itu batal demi hukum,” ujar Azis.
Perseteruan makin meruncing saat BPPH Pemuda Pancasila memasang plang dan stiker organisasi di atas lahan tersebut. Langkah ini dipandang oleh TM & Partners sebagai tindakan provokatif dan melawan hukum karena tidak berdasar kepemilikan sah.
Namun, dari sisi BPPH dan keluarga pewakaf, pemasangan atribut tersebut adalah bentuk perlindungan atas aset wakaf yang mereka nilai hendak dialihkan secara tidak sah.
Konflik ini tidak hanya menjadi sengketa agraria biasa, tetapi juga menyeret dimensi kepercayaan publik terhadap proses hukum dan nilai-nilai sosial. Pakar hukum menilai bahwa status wakaf tidak dapat diabaikan hanya dengan sertifikat formal. Harus ada kejelasan sejarah, niat pewakaf, serta verifikasi menyeluruh baik dari sisi formal maupun adat.
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi masyarakat untuk lebih cermat dalam transaksi lahan, khususnya di wilayah yang memiliki jejak sosial atau keagamaan. Jika benar tanah itu adalah wakaf, maka tak hanya aspek legal yang dipersoalkan—tapi juga integritas moral para pihak.
Saat ini, polemik masih berada di tahap somasi. Apakah akan berujung di meja hijau atau mediasi, waktu yang akan menjawab. Namun satu hal pasti: ketika status tanah menyentuh ruang sakral dan sosial, maka dampaknya jauh lebih dalam dari sekadar persoalan kepemilikan. (Red)