Opini, Nusaharianmedia.com – Ketenangan jiwa adalah sesuatu yang dicari oleh setiap manusia. Ia adalah perasaan damai yang lahir dari kebebasan berpikir, bertindak, dan merasa.
Namun, ketika seseorang merasa dijajah atau berada di bawah perintah orang lain, ketenangan itu perlahan terkikis. Rasa nyaman berubah menjadi kegelisahan, dan pikiran yang tenang menjadi penuh dengan pertanyaan serta pemberontakan batin.
Kita sering mengasosiasikan penjajahan dengan sejarah kolonialisme, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, bentuk penjajahan modern tidak selalu hadir dalam wujud rantai atau senjata.
Dia bisa muncul dalam bentuk perintah yang menekan, sistem yang mengekang, atau bahkan hubungan sosial yang tidak seimbang.
Saat seseorang merasa dipaksa untuk tunduk pada kehendak orang lain, entah itu dalam pekerjaan, keluarga, atau lingkungan sosial, ada dua kemungkinan yang terjadi: menerima dan beradaptasi atau menolak dan melawan.
Di sisi lain apapun pilihannya, perasaan kehilangan kendali atas diri sendiri tetap menjadi beban yang mengganggu ketenangan jiwa.
Banyak orang hidup dalam kondisi di mana suara mereka tak didengar, keputusan mereka tak dihargai, dan kebebasan mereka terbatas. Kondisi ini menciptakan luka batin yang dalam, bukan luka fisik yang terlihat, melainkan luka psikologis yang perlahan menggerogoti kebahagiaan.
Maka, pertanyaannya adalah: bagaimana cara kita meraih kembali ketenangan itu? Jawabannya tidak selalu mudah, tetapi ada beberapa langkah yang bisa diambil. Salah satunya adalah menyadari batas antara kepatuhan dan kehilangan diri sendiri.
Tunduk pada perintah bukan berarti menghapus identitas pribadi. Jika aturan atau perintah yang diterima bertentangan dengan nilai dan prinsip hidup kita, maka sudah sewajarnya untuk bersuara dan mencari jalan keluar.
Selain itu, membangun keberanian untuk menentukan jalan hidup sendiri adalah kunci utama. Tidak semua perintah harus dipatuhi, terutama jika itu membuat kita kehilangan makna hidup.
Ketenangan sejati datang dari kesadaran bahwa kita memiliki kendali atas diri sendiri, bukan dari ketakutan terhadap konsekuensi jika melawan.
Pada akhirnya, kebebasan bukan hanya soal terbebas dari rantai yang terlihat, tetapi juga dari belenggu yang tidak kasat mata. Jika kita ingin ketenangan jiwa, maka kita harus berani memperjuangkan kebebasan berpikir dan bertindak. Sebab, jiwa yang merdeka adalah jiwa yang damai. (Diki Kusdian)