Cimahi,Nusaharianmedia.com – Dalam rangkaian kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Cimahi Tahun 2025–2029, suara pelaku budaya kembali menggema.
Musrenbang yang digelar di Gedung Cimahi Technopark ini tak hanya menjadi forum teknokratik, tetapi juga wadah curahan aspirasi dari berbagai elemen masyarakat, termasuk para seniman dan budayawan.
Salah satu tokoh yang cukup vokal dalam menyuarakan aspirasi tersebut adalah Hermana HMT, mantan Ketua Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC). Dalam forum tersebut, Hermana secara lugas mengungkapkan kekecewaan dan sekaligus harapan besar terhadap kelanjutan rencana pembangunan gedung kesenian di Kota Cimahi sebuah wacana yang sudah bertahun-tahun diperbincangkan namun tak kunjung terealisasi.
“Pembangunan gedung kesenian bukanlah isu baru. Ini sudah jadi pembahasan sejak era kepemimpinan Ajay dan Ngatiana. Bahkan saat itu sudah sempat direncanakan. Tapi realisasinya tidak pernah benar-benar dimulai,” ujar Hermana dengan nada kritis.
Menurutnya, mandeknya pembangunan bukan semata-mata karena kelalaian atau pengabaian, tetapi lebih karena berbagai pertimbangan kompleks, seperti aspek regulasi, keterbatasan lahan, serta persoalan teknis lainnya.
Meski demikian, Hermana menilai bahwa sudah saatnya pemerintah daerah berani mengambil langkah konkret dan memprioritaskan pembangunan gedung kesenian dalam RPJMD yang baru.
“Kita perlu ruang yang representatif sebagai rumah para seniman untuk berkarya dan mempresentasikan hasil kreativitasnya. Jangan sampai seniman kita hanya jadi penonton di kota sendiri. Gedung kesenian juga bisa jadi etalase budaya Cimahi, yang bisa mendatangkan pelaku seni dari luar kota dan memperkuat identitas kota,” paparnya.
Hermana juga mengajukan pandangan rasional terkait bentuk dan kapasitas gedung yang dibutuhkan. Ia menegaskan bahwa tidak perlu membangun gedung megah sekelas Sasana Budaya Ganesha atau Taman Ismail Marzuki, melainkan cukup yang fungsional, minimalis, dan sesuai dengan karakter Cimahi.
“Gedung kesenian tidak harus besar. Yang penting fungsional. Bisa menampung sekitar 150 penonton, ada ruang pameran yang proporsional, dan memiliki tempat parkir yang memadai. Ini sudah cukup. Kita sesuaikan dengan karakter Cimahi yang camperenik kecil tapi menarik,” tegasnya.
Lebih jauh, Hermana menyoroti peluang yang selama ini terbengkalai: pemanfaatan Gedung Rio. Gedung yang dulunya merupakan bioskop dan kini menjadi aset milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dinilai sangat potensial untuk dijadikan pusat kegiatan seni budaya.
“Gedung Rio bisa jadi solusi cepat dan efisien. Letaknya strategis, punya sejarah, dan tinggal dimanfaatkan saja. Tapi tentu saja, ini perlu komunikasi serius antara Pemerintah Kota Cimahi dengan Gubernur Jawa Barat saat ini, Kang Dedi Mulyadi (KDM),” ujarnya. Selasa, (22/04/2025).
Hermana mengaku optimis bahwa KDM adalah sosok pemimpin yang memiliki perhatian besar terhadap pelestarian budaya dan seni. Ia berharap, melalui dialog dan pendekatan yang konstruktif, Gubernur Jawa Barat bisa dengan lapang dada menyerahkan pengelolaan Gedung Rio kepada Pemkot Cimahi.
“Jika KDM bersedia menyerahkan pengelolaannya kepada Cimahi, tentu dengan prosedur dan regulasi yang benar, ini akan menjadi hadiah besar bagi insan seni di kota ini. Jika tidak memungkinkan, maka Pemkot harus segera menentukan lokasi baru yang realistis dan layak untuk dibangun gedung kesenian,” tegasnya.
Hermana juga mengingatkan bahwa masalah Gedung Rio ini bukan baru muncul sekarang. Dalam beberapa periode kepemimpinan walikota, selalu saja ada upaya meminta agar gedung itu diserahkan. Namun hingga kini, harapan itu belum pernah terkabulkan.
“Maka saya percaya, KDM sebagai gubernur yang dikenal memiliki empati dan kepedulian tinggi terhadap kebudayaan, dapat menjadi jembatan perubahan. Mudah-mudahan lewat tangan dinginnya, ada regulasi baru atau kesepakatan politik yang memungkinkan aset tersebut dikelola oleh Kota Cimahi,” pungkasnya.
Forum Musrenbang hari itu tidak hanya mencatat usulan teknokratik pembangunan, tetapi juga menampung harapan-harapan kultural yang selama ini kerap terlupakan.
Apakah pembangunan gedung kesenian akan masuk prioritas RPJMD Kota Cimahi 2025–2029, dan apakah Gedung Rio akan mendapatkan nasib baru sebagai pusat kesenian? Jawabannya masih harus menunggu, namun suara dari pelaku seni seperti Hermana telah kembali mengetuk pintu para pengambil kebijakan. (Achmad Syafei)