Garut, Nusaharianmedia.com – Kabupaten Garut, Jawa Barat, kembali diguncang oleh kenyataan pahit yang mengusik nurani: deretan kasus kekerasan seksual yang menyeret pelaku dari lingkaran terdekat korban, bahkan dari kalangan yang semestinya menjadi pelindung.
Salah satu kasus paling menyayat adalah dugaan rudapaksa oleh seorang ayah dan paman terhadap anak kandungnya sendiri. Peristiwa memilukan ini menggambarkan runtuhnya tembok perlindungan yang seharusnya diberikan oleh keluarga—ruang paling sakral dalam kehidupan manusia.
Tak berselang lama, dugaan pelecehan seksual oleh seorang tenaga medis terhadap pasien perempuan menambah daftar panjang luka sosial di Garut. Bukannya mendapat rasa aman dalam ruang praktik, korban justru merasa terancam secara fisik dan psikis oleh oknum yang seharusnya menjunjung tinggi etika profesi.
“Jika keluarga dan fasilitas kesehatan tak lagi aman, di mana lagi seorang manusia bisa merasa terlindungi? Ini sudah lampu merah bagi nilai-nilai kemanusiaan kita,” tegas dr. Hj. Sintya Mirani, psikolog forensik dari Universitas Padjadjaran, Selasa (15/04/2025).
Sinyal Bahaya dari Tengah Masyarakat
Pihak Polres Garut menyatakan tengah menangani dua kasus tersebut. Tersangka dalam kasus rudapaksa telah diamankan, sementara kasus pelecehan oleh oknum dokter masih dalam tahap penyelidikan. Namun, fakta ini hanya permukaan dari gunung es yang lebih besar.
Nur Lestari, Ketua Forum Perlindungan Perempuan dan Anak Garut, menyebutkan bahwa tren kekerasan seksual di Garut menunjukkan peningkatan signifikan dalam tiga tahun terakhir. “Mayoritas pelaku adalah orang-orang yang dikenal korban. Ini menunjukkan keretakan mendalam dalam sistem sosial kita,” ujarnya.
Menurutnya, tanpa kolaborasi semua pihak,tokoh agama, pemerintah, institusi pendidikan, dan media. Maka nilai-nilai etika akan terus terkikis dan kasus-kasus serupa akan terus bermunculan.
Pendidikan Seksualitas: Bukan Tabu, tapi Perlindungan
Ahmad Rosyid, sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung, menyoroti urgensi pendidikan seksualitas sejak dini. “Kita sering keliru menganggap pendidikan seks itu vulgar, padahal ini bagian penting dalam membangun kesadaran anak akan hak dan martabat dirinya,” katanya.
Ia juga menyoroti minimnya keteladanan dari tokoh masyarakat, yang seharusnya menjadi panutan. “Ketika narasi kekerasan dan pelecehan didiamkan, maka perilaku menyimpang pun perlahan menjadi normal,” tegasnya.
Langkah Nyata, Bukan Sekadar Seremonial
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Garut, Euis Sulastri, menyampaikan bahwa pihaknya tengah merumuskan strategi bersama berbagai pihak. “Kami akan masuk ke sekolah, pesantren, dan komunitas-komunitas pemuda untuk membangun kesadaran kolektif,” ujarnya.
Namun, ia menekankan bahwa penanganan kasus tidak akan berhasil jika masyarakat hanya menjadi penonton. “Ketegasan hukum dan keberanian masyarakat bersuara adalah dua kunci utama.”
Penutup: Saatnya Kembali ke Nilai-Nilai Dasar
Apa yang sedang terjadi di Garut bukan hanya soal kriminalitas, tapi soal retaknya nilai-nilai dasar kemanusiaan. Ketika ruang privat tak lagi aman dan norma sosial kehilangan fungsinya, saat itulah masyarakat harus mengevaluasi ulang arah kompas moralnya.
Garut bukan hanya warisan budaya dan sejarah—ia juga harus menjadi cermin peradaban. Sudah waktunya semua pihak bergerak bersama. Karena melindungi martabat manusia adalah tanggung jawab kita semua. (Red)