Namun, di balik gemerlap data tersebut, ada satu realita sunyi yang menggugah nurani keluarga Bapak Uju di Kampung Cilengkeng, Desa Wangunjaya, Kecamatan Banjarwangi.
Di sebuah rumah reyot berdinding bilik, berlantai tanah, dan beratap bocor, keluarga ini hidup dalam kondisi yang jauh dari kata layak. Bapak Uju, bersama istrinya dan tiga orang anak, sudah bertahun-tahun tinggal di bangunan yang nyaris rubuh.
Sementara di musim hujan, mereka harus berpindah ke sudut-sudut rumah yang lebih aman agar tak tertimpa runtuhan atap. Ketika hujan datang disertai angin kencang, satu-satunya perlindungan mereka adalah tumpukan karung dan plastik bekas yang dijadikan tambalan atap darurat.
Di Mana Peran Negara?
Kondisi keluarga Bapak Uju seharusnya secara otomatis masuk dalam skema prioritas penerima program Rutilahu (Rumah Tidak Layak Huni). Apalagi, berbagai program sosial dari pemerintah pusat hingga desa, seperti Dana Desa, CSR, dan program pengentasan kemiskinan ekstrem, telah bergulir selama bertahun-tahun.
Namun sayangnya, rumah yang berada di RT 02 RW 05 ini tidak tersentuh oleh bantuan apa pun.
“Sudah lama kami begini. Kadang kalau malam hujan deras, kami tidak tidur, karena takut genting jatuh,” ujar Bapak Uju dengan suara lemah, Kamis (10/07/2025). Tangannya menunjuk ke arah langit-langit rumah yang bolong dan berjamur, tempat air hujan rutin menetes.
Pemerintah Bungkam, Pendataan Mandek
Penelusuran tim lapangan menemukan bahwa dalam dua tahun terakhir, tidak ada verifikasi ulang data warga miskin ekstrem di Desa Wangunjaya. Pendataan hanya dilakukan berdasarkan arsip lama, tanpa kunjungan langsung. Bahkan perangkat desa seperti RT, RW, dan kepala dusun disebut tidak aktif melakukan pemantauan atau pendataan berkala.
Seorang aktivis sosial lokal yang enggan disebutkan namanya menyatakan, “Ini bukan soal tidak tahu, tapi soal tidak peduli. Banyak keluarga seperti Pak Uju yang tidak masuk data karena dianggap ‘tidak eksis’ secara administratif. Padahal mereka ada dan hidup dalam penderitaan nyata.”
Statistik yang Menyesatkan?
Laporan resmi pemerintah menyebutkan bahwa di Kecamatan Banjarwangi, puluhan rumah telah direnovasi melalui program Rutilahu. Namun, keberhasilan yang diklaim dalam laporan tampaknya belum menyentuh warga paling membutuhkan. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa data yang dijadikan dasar perencanaan bantuan tidak valid, atau bahkan sudah “dipoles”.
“Jangan-jangan ini soal kuota. Siapa yang dekat dengan pejabat, dia yang dapat. Yang lain? Ya dilupakan,” cetus seorang warga sekitar dengan nada sinis.
Kemiskinan yang Diturunkan
Bapak Uju bekerja serabutan hari ini buruh tani, besok mencari kayu bakar. Istrinya mengurus rumah sambil sesekali membantu tetangga. Tiga anaknya nyaris putus sekolah. Mereka kesulitan membeli perlengkapan belajar, bahkan pakaian layak pun tidak punya.
“Ada anaknya yang pintar, tapi dia minder ke sekolah karena bajunya robek. Kadang dia bilang malu sama temannya,” tutur seorang tetangga dengan mata berkaca-kaca.
Saatnya Evaluasi Total, Bukan Sekadar Seremonial
Tragedi sosial yang menimpa keluarga Bapak Uju menggambarkan celah besar antara program dan realisasi. Pemerintah daerah, khususnya Dinas Sosial dan DPKP, harus segera melakukan audit sosial independen terhadap program berbasis kebutuhan dasar, terutama perumahan.
Tanpa validasi lapangan, semua program akan terjebak dalam pusaran laporan semu penuh angka, tapi kosong makna.
Keluarga seperti Bapak Uju tak butuh bantuan sesaat. Mereka membutuhkan kehadiran negara yang menjamin hak dasar: tempat tinggal layak, pendidikan untuk anak-anaknya, dan kesempatan untuk hidup manusiawi.
Jika kita terus percaya pada statistik tanpa menyapa realita, maka kita sedang menormalisasi ketidakadilan. Dan keluarga seperti Bapak Uju akan terus menjadi korban yang tak tercatat terhapus dari peta bantuan, terbuang dari agenda pembangunan. (Red)