Ucapan itu dinilai sebagai bentuk arogansi sekaligus pengingkaran terhadap peran penting media dalam sistem demokrasi. Ketua Umum Aliansi Jurnalis Media Independent Indonesia (AJMII), Achmad Syafei, SH, menjadi salah satu yang angkat bicara secara lantang, menyebut pernyataan tersebut sebagai penghinaan terhadap profesi wartawan.
“Jika benar pernyataan itu keluar dari mulut KDM, maka saya menilai ia telah kehilangan kesadaran sosial. Pernyataan itu bukan hanya menyakitkan, tapi juga merendahkan kami yang selama ini bekerja sebagai pilar keempat demokrasi,” tegas Syafei dalam konferensi pers di Cimahi. Kamis siang,(03/07/2025).
Media Adalah Pilar Demokrasi, Bukan Pelengkap
Achmad Syafei menegaskan bahwa media bukan sekadar pelengkap dalam komunikasi publik, tetapi bagian integral dari proses demokrasi. Media berfungsi sebagai pengontrol kekuasaan, penyambung suara rakyat, serta perekam sejarah sosial dan politik bangsa. Ia mengingatkan bahwa banyak tokoh publik, termasuk KDM, mendapatkan panggung politik dan sosial justru karena liputan media yang konsisten selama bertahun-tahun.
“Jangan lupakan siapa yang ikut membesarkan nama Anda. Media ada di garda depan ketika tokoh-tokoh seperti KDM dulu memulai kiprahnya. Tanpa jurnalis, tidak semua kebaikan bisa diketahui publik. Tidak semua kritik bisa sampai ke telinga pemimpin,” ujar Syafei.
Ia menyebut pernyataan KDM sebagai bentuk sikap anti-kritik yang terselubung. Ketika seorang tokoh merasa cukup dengan satu saluran komunikasi yakni media sosial milik pribadi maka di situlah peran kontrol menjadi lumpuh karena hanya terjadi komunikasi satu arah yang dikendalikan oleh pemilik kanal.
Dampak Sistemik: Jurnalis Makin Tersingkir
Achmad Syafei menyampaikan kekhawatiran akan efek domino dari pernyataan KDM jika dibiarkan tanpa klarifikasi atau koreksi. Ia menilai bahwa publik figur seperti KDM memiliki pengaruh besar yang dapat membentuk opini publik, termasuk persepsi negatif terhadap profesi wartawan.
“Hari ini seorang tokoh mengatakan tak butuh media. Besok, pengusaha menutup akses wartawan. Lusa, pemerintah daerah ikut-ikutan. Lalu ke mana jurnalis harus berpijak? Ini bukan sekadar soal ego pribadi, tapi soal eksistensi profesi yang dilindungi undang-undang,” katanya dengan nada prihatin.
Syafei juga memaparkan bahwa banyak wartawan di daerah bekerja dalam keterbatasan, tanpa perlindungan hukum yang memadai, tanpa asuransi, dan seringkali hidup dari honor kecil hasil liputan.
Ketika kerja sama dengan tokoh publik terputus karena narasi seperti yang dibangun KDM, maka jurnalis-jurnalis tersebut akan kehilangan akses dan peluang untuk menyuarakan kepentingan publik.
Apresiasi Keberhasilan KDM, Tapi Jangan Lupa Asal Usul
Syafei tak menampik bahwa Kang Dedi Mulyadi adalah salah satu tokoh yang berhasil memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan gagasan, membantu masyarakat, dan membangun citra positif. Ia bahkan menyebut keberhasilan KDM di platform seperti YouTube dan TikTok sebagai sesuatu yang layak diapresiasi.
Namun, ia menyayangkan bila keberhasilan itu justru menjadi dasar untuk merendahkan media konvensional. Menurutnya, media sosial memang bisa menjangkau audiens, namun tidak bisa menggantikan fungsi jurnalistik yang kritis dan independen.
“Kami tahu KDM membagikan uang puluhan juta per hari lewat medsos, dan itu bagus. Tapi jangan sampai itu menjadikannya lupa bahwa keberhasilan tersebut juga dibangun oleh narasi panjang media selama puluhan tahun,” tandasnya.
Seruan Moral: Jangan Lupakan Nilai Kearifan Lokal
Mengakhiri pernyataannya, Achmad Syafei menyampaikan pesan moral yang dikutip dari nilai-nilai lokal masyarakat Sunda. Ia mengajak KDM untuk kembali melihat ke belakang, mengenang perjalanan karier yang panjang, dan tidak melupakan jasa banyak pihak, termasuk wartawan, yang pernah membantu memperkuat citra dirinya di mata publik.
“Ka Bapak Aing (KDM), abdi ngingetkeun: ‘Inget ka temah wadi, inget kana wiwitan, raja bakal murag, ratu bakal rubuh dina waktuna.’ Ulah sombong, ulah hilap budi. Wartawan lain lawan, tapi mitra pikeun demokrasi,” ucap Syafei, menyudahi keterangannya.
Belum Ada Tanggapan Resmi dari KDM
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Kang Dedi Mulyadi terkait klarifikasi atas ucapan yang menjadi polemik ini. Awak media telah mencoba menghubungi beberapa orang dekatnya, namun belum mendapatkan jawaban.
Organisasi AJMII menyatakan akan mengirimkan surat terbuka kepada KDM untuk meminta klarifikasi langsung atas pernyataan tersebut. Mereka juga menyerukan agar semua insan pers di Indonesia tetap bersatu dan menjaga kehormatan profesi di tengah gempuran disrupsi digital dan narasi-narasi yang menyudutkan. (Red)