
Nusaharianmedia.com 02/09/2025 — Slogan Garut Hebat yang dulu dielu-elukan kini mulai terdengar seperti gema kosong di dinding birokrasi. Front Aksi Rakyat Garut Menggugat (FARGAM) menuding pemerintahan Bupati Syakur Amin dan Wakil Bupati Putri Karlina kehilangan arah karena tidak memiliki blue print dan road map pembangunan yang jelas.
Ketua FARGAM, Wa Ateng, menyebut kekuasaan di Garut hari ini miskin sentuhan politik. Program mungkin berjalan, tetapi berdiri tanpa fondasi legitimasi. “Kebijakan bisa dijalankan, tapi efek politik dan keterlibatan pemangku kepentingan hampir tidak pernah diperhitungkan. Pemerintahan seperti ini ibarat panggung megah yang sepi penonton, ramai acara tapi hampa makna,” tegasnya, Senin (1/9/2025).
Ia menyorot betapa partai politik, relawan, dan kelompok masyarakat yang dulu berjibaku memenangkan pasangan kepala daerah kini dipinggirkan. “Kekuasaan seolah hanya dikelola segelintir elit yang bahkan tidak punya jejak perjuangan. Lebih berbahaya lagi, elit ini hanya numpang hidup di ruang kekuasaan yang dibangun keringat banyak orang,” ujarnya.
Mutasi birokrasi: reformasi atau sekadar dekorasi?
Kritik makin tajam ketika Wa Ateng menyinggung rotasi-mutasi pejabat Agustus lalu. Menurutnya, apa yang dipertontonkan Pemkab Garut jauh dari semangat reformasi birokrasi. Alih-alih menghadirkan energi baru, mutasi hanya jadi ritual seremonial—sekadar memindahkan kursi tanpa mengubah isi kepala.
“Rakyat tidak menunggu siapa kepala dinasnya, rakyat menunggu apa gagasannya. Apa pembaruan yang mereka bawa? Mutasi kemarin ibarat mengganti wayang tanpa mengubah lakon. Hasilnya, panggung tetap sama, cerita tetap basi,” sindir Wa Ateng.
Ia menegaskan bahwa birokrasi seharusnya menjadi motor perubahan, bukan museum jabatan. Jika mutasi hanya dipahami sebagai job fair internal tanpa muatan ide, maka reformasi tinggal jargon. “Kalau ujung tombak tumpul, jangan harap bisa menembus tantangan zaman. Mutasi harusnya jadi shock therapy, tapi yang kita lihat hanyalah arisan jabatan,” ujarnya pedas.
Legitimasi politik: fondasi yang dilupakan
Bagi FARGAM, persoalan terbesar bukan pada teknis program, melainkan absennya konsolidasi politik. Kekuasaan yang seharusnya dibangun dari kerja kolektif berubah jadi milik segelintir orang. “Tanpa sharing power, teman bisa jadi lawan. Demokrasi punya hukum alam sendiri—siapa yang tak pandai merawat basis, cepat atau lambat akan tumbang,” kata Wa Ateng.
Ia menegaskan, jabatan kepala daerah bukanlah hadiah, melainkan amanat perjuangan banyak pihak. “Mengabaikan basis legitimasi sama saja mengabaikan fondasi rumah. Akhirnya, rumah megah bernama Garut Hebat bisa ambruk hanya karena pondasinya dibiarkan rapuh,” tambahnya.
Demokrasi bukan pesta sehari
Wa Ateng mengingatkan, demokrasi tidak berhenti pada hari kemenangan. Ia menuding pemerintah saat ini terjebak dalam lingkaran elitisme yang menutup ruang partisipasi. “Stakeholder harus dilibatkan, bukan cuma elit tertentu. Itu bukan basa-basi etika, tapi kebutuhan nyata untuk menjaga keseimbangan kekuasaan,” ujarnya.
Lebih jauh, ia memberi peringatan keras: sejarah politik Garut penuh contoh bagaimana pemimpin yang lupa merawat dukungan akhirnya tersungkur lebih cepat dari yang dibayangkan. “Siapa pun yang gagal menjaga legitimasi akan berakhir di ruang sunyi, ditinggalkan kawan, disoraki lawan,” katanya.
Retorika kosong Garut Hebat
Pada akhirnya, FARGAM menyebut Garut Hebat berisiko menjadi sekadar retorika. Slogan hanya tinggal hiasan jika tidak ditopang peta jalan yang jelas, konsolidasi politik yang rapi, dan reformasi birokrasi yang sungguh membawa spirit perubahan.
“Bupati dan Wakil Bupati harus sadar, jabatan itu amanat. Ia lahir dari keringat, loyalitas, dan doa banyak orang. Jika pemerintahan berjalan tanpa arah, tanpa konsolidasi, tanpa reformasi, maka Garut Hebat hanya tinggal papan nama, bukan kenyataan,” pungkas Wa Ateng.







