Garut,Nusaharianmedia.com – Dunia olahraga Indonesia kembali diguncang isu kontroversial. Seorang mantan narapidana kasus korupsi kembali terpilih menduduki jabatan strategis sebagai Wakil Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Sementara, kabar ini sontak memicu gelombang kritik dan pertanyaan dari berbagai kalangan, baik dari masyarakat umum, pemerhati olahraga, hingga tokoh-tokoh senior di lingkungan KONI sendiri.
Fenomena ini seolah mencerminkan ironi yang mencolok. Di saat pemerintah gencar mengkampanyekan pemberantasan korupsi dan peningkatan etika birokrasi, lembaga sebesar KONI justru memberikan tempat bagi individu dengan rekam jejak hukum yang buruk.
“Ini bukan hanya masalah legalitas, tapi menyangkut moral, etika, dan citra olahraga nasional,” ujar seorang pengamat olahraga yang enggan disebutkan namanya.
Jumlah Pengurus Membengkak, Ada Apa di Balik Layar?
Tak hanya soal figur kontroversial, isu lain yang tak kalah menjadi sorotan adalah membengkaknya jumlah pengurus KONI dari 60 menjadi 121 orang. Lonjakan jumlah ini menimbulkan spekulasi soal praktik “bagi-bagi jabatan” yang kerap terjadi dalam tubuh organisasi besar.
Banyak yang mempertanyakan, apakah pembengkakan ini didasari kebutuhan organisasi atau justru demi mengakomodasi kepentingan tertentu?
“KONI seharusnya fokus pada pembinaan atlet dan penguatan sistem olahraga nasional. Jika terlalu banyak energi dihabiskan untuk urusan struktural dan kompromi politik internal, maka misi besar olahraga akan terabaikan,” ujar salah satu pengurus lama yang kini memilih untuk mengundurkan diri. Senin, (21/04/2025).
Keteladanan yang Dipertaruhkan
Sorotan terhadap mantan narapidana yang kini menjabat di KONI bukan semata urusan masa lalu, melainkan soal tanggung jawab moral di masa kini. Dunia olahraga identik dengan nilai-nilai sportivitas, kejujuran, dan integritas. Ketika lembaga induk seperti KONI justru mengabaikan nilai-nilai tersebut, maka masyarakat wajar merasa resah.
“Bagaimana mungkin atlet diminta menjunjung tinggi nilai fair play, sementara yang duduk di atas mereka justru punya sejarah melanggar hukum?” kritik seorang pelatih nasional yang kecewa dengan kondisi ini.
Seruan kepada Tokoh-Tokoh Berintegritas
Dalam situasi seperti ini, harapan publik mulai tertuju pada figur-figur yang dianggap memiliki integritas dan rekam jejak yang bersih. Salah satunya adalah Syakur, mantan Ketua KONI yang berhasil membawa prestasi olahraga Indonesia naik dari peringkat 18 ke 11 pada masa kepemimpinannya.
Di sisi lain, banyak pihak berharap Syakur bersuara lantang dan mengambil sikap terhadap kondisi terkini yang dianggap mencederai semangat pembinaan olahraga nasional.
“Kita butuh suara dari tokoh-tokoh berpengaruh. Jangan sampai diamnya mereka diartikan sebagai persetujuan terhadap praktik yang mencoreng dunia olahraga,” ujar aktivis olahraga muda dari Bandung.
Lebih dari Sekadar Jabatan
Kisruh di tubuh KONI ini bukan hanya tentang siapa duduk di mana. Ini adalah soal arah masa depan olahraga Indonesia.
Jika lembaga sebesar KONI dibiarkan dikuasai oleh orang-orang yang tidak mencerminkan semangat sportivitas dan kebersihan moral, maka harapan meraih prestasi di tingkat regional maupun internasional akan sulit tercapai.
KONI semestinya menjadi mercusuar semangat perubahan, menjadi teladan bagi cabang-cabang olahraga di seluruh Indonesia. Namun saat ini, bayang-bayang masa lalu justru semakin menggelapkan masa depan.
Masyarakat kini menunggu, apakah akan ada langkah korektif dari internal KONI sendiri, atau justru membiarkan kisruh ini menjadi noda panjang dalam sejarah olahraga nasional. (Red)