Garut,Nusaharianmedia.com – Dalam senyap, luka itu menganga. JJ (51), seorang perempuan asal Garut, Jawa Barat ini memilih untuk angkat bicara setelah bertahun-tahun memendam perihnya ditinggalkan oleh suaminya sendiri.
Bagi JJ, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDART) bukan sekadar memar di kulit, tapi lebih sering berupa luka yang tak terlihat—yang justru menghancurkan dari dalam.
“KDART itu bukan cuma soal fisik. Justru lebih menyiksa ketika seorang perempuan dibiarkan sendiri, tidak dinafkahi, dan diperlakukan seolah tak berharga,” kata JJ dengan suara bergetar saat ditemui di kediamannya, Sabtu (06/04/2025).
JJ menceritakan pengalamannya yang ditelantarkan tanpa kejelasan dan tanpa nafkah, meski ikatan pernikahan secara hukum masih sah. Menurutnya, bentuk kekerasan semacam ini kerap tak dipandang serius oleh masyarakat maupun aparat, padahal dampaknya luar biasa bagi mental dan harga diri seorang istri.
“ Dalam kurun waktu 9 tahun saya bertahan bukan karena kuat, tapi karena anak-anak dan tak ada pilihan. Namun sekarang saya ingin bicara, karena banyak perempuan lain yang mengalami hal serupa dan memilih diam, apalagi dulu saya punya anak yang masih bayi hingga hari ini anak saya tidak pernah merasakan kasih sayang dari ayahnya sendiri” tuturnya.
Ia menyoroti bahwa penelantaran, tekanan psikis, hingga kekerasan ekonomi harus diakui sebagai bagian dari KDART. JJ mendesak agar hukum lebih tegas melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan, tak hanya yang tampak secara fisik.
“Kami butuh keadilan, bukan belas kasihan. Perempuan bukan makhluk lemah, tapi jangan paksa kami kuat hanya untuk menahan luka yang tak terlihat,” tegasnya.
Kini suara JJ menjadi refleksi bagi banyak perempuan lain yang mengalami hal serupa—terluka, tapi memilih diam. Kisahnya menjadi pengingat bahwa kekerasan dalam rumah tangga bisa membunuh secara perlahan, lahir dan batin.
Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2016, 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya. Pada SNPHAR tahun 2018, ditemukan bahwa 2 dari 3 anak laki-laki dan perempuan berusia 13-17 tahun pernah mengalami salah satu kekerasan dalam hidupnya, baik itu kekerasan fisik, seksual, maupun emosional.
Di sisi lain, kasus kekerasan yang menimpa para korban terjadi di berbagai tempat. Paling banyak kasus kekerasan terjadi di rumah tangga, fasilitas umum, dan tempat yang masuk dalam kategori lainnya, sedangkan kasus kekerasan di sekolah dan tempat kerja jumlahnya kecil.
Dari segi jumlah korban, SIMFONI mencatat rumah tangga memiliki korban kekerasan terbanyak, disusul oleh tempat yang masuk dalam kategori lainnya, sekolah, tempat kerja, dan lembaga pendidikan kilat. Sementara itu, dari jenis kekerasan yang dialami, SIMFONI mencatat bahwa kekerasan seksual menempati urutan pertama, disusul oleh kekerasan fisik, psikis, kekerasan yang masuk dalam kategori lainnya, penelantaran, trafficking, dan eksploitasi.
Berdasarkan usia, korban yang mengalami kekerasan terbanyak adalah dalam rentang usia 13-17 tahun, disusul oleh usia 25-44 tahun, 6-12 tahun, 18-24 tahun, 0-5 tahun, 45-59 tahun, dan 60 tahun lebih. Kemudian, berdasarkan pendidikan, korban yang mengenyam bangku SMA tercatat paling banyak. Disusul oleh SMP, SD, perguruan tinggi, tidak sekolah, kategori lainnya, TK, dan PAUD.
Pelakunya tercatat paling banyak adalah laki-laki. Berdasarkan hubungan antara korban dan pelaku, tertinggi adalah sebagai suami atau istri, pacar atau teman, orangtua, keluarga/saudara, kategori lainnya, tetangga, majikan, dan rekan kerja.
Adapun jenis layanan yang diberikan kepada korban kekerasan tersebut terbanyak adalah layanan pengaduan, kesehatan, bantuan hukum, rehabilitasi sosial, penegakan hukum, pemulangan, pendampingan tokoh agama, dan reintegrasi sosial. Sebab, data SIMFONI selalu berubah berdasarkan laporan yang masuk, maka urutan-urutan berdasarkan jumlah yang disebutkan di atas tidak bersifat permanen.
Dikatakan JJ Saya menyarankan, baik korban kekerasan atau pendamping, keluarga, komunitas, maupun pihak yang mengetahui adanya tindak kekerasan dapat melaporkan kasus tersebut ke polisi, perangkat desa (RT/RW) setempat atau ke pengada layanan seperti yang disediakan Kemen PPPA.
Sedangkan untuk mendapatkan respons cepat biasanya dengan melaporkan tindak kekerasan tersebut ke polisi. Sebab, apabila terdapat luka, lebam, atau trauma yang dialami korban bisa langsung dikenali. Bahkan, jika butuh visum bisa langsung dirujuk ke rumah sakit untuk visum et repertum.
“Bila sudah membuat laporan dan mendapatkan berkas laporan dengan nomor kepolisian, maka bisa mengadukan ke Komnas Perempuan untuk dibantu lebih jauh,” kata JJ.
Misalnya,korban bisa mendapatkan rujukan ke pengada layanan atau jika butuh proses pelaporannya dipantau dan butuh surat rekomendasi, maka Komnas Perempuan akan mengeluarkan surat rekomendasi yang ditujukan ke kepolisian.
Jenis Kekerasan yang Dialami Perempuan.
Dalam Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan (Catahu) tahun 2020, sepanjang tahun tersebut ditemukan 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan. Data tersebut dihimpun dari pengadilan negeri dan agama, lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah, dan Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR).
Jenis kekerasannya pun beragam dan yang paling menonjol kekerasan di ranah pribadi atau privat, yaitu KDRT dan relasi personal. Di antaranya terdapat kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (49 persen), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20 persen), kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (14 persen), sisanya kekerasan oleh mantan suami, mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Selanjutnya, kekerasan di ranah komunitas atau publik tercatat kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55 persen) yang terdiri dari dari pencabulan (166 kasus), perkosaan (229 kasus), pelecehan seksual (181 kasus), persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya percobaan perkosaan dan kekerasan seksual lain.
Di ranah dengan para pelaku 2021 mencatat ada kasus-kasus yang dilaporkan.
Setidaknya sepanjang tahun 2020 ada 23 kasus (0,1 persen). Kekerasan di ranah negara antara lain kasus perempuan berhadapan dengan hukum (6 kasus), kasus kekerasan terkait penggusuran (2 kasus), kasus kebijakan diskriminatif (2 kasus).
Kemudian, kasus dalam konteks tahanan dan serupa tahanan (10 kasus) serta kasus dengan pelaku pejabat publik (1 kasus). Pada tahun 2020, angka kekerasan terhadap perempuan mengalami penurunan sekitar 31,5 persen dari tahun sebelumnya. Namun, yang penting menjadi catatan adalah, penurunan jumlah kasus pada tahun 2020, tidak berarti jumlah kasusnya menurun.
Berdasarkan survei dinamika Komnas Perempuan, selama masa pandemi Covid-19, penurunan jumlah kasus dikarenakan korban dekat dengan pelaku selama masa pandemi, korban cenderung mengadu pada keluarga atau diam, persoalan literasi teknologi, model layanan pengaduan yang belum siap dengan kondisi pandemi.
Dampak pandemi ini contohnya terlihat di pengadilan agama yang membatasi layanannya dan proses persidangan.
Data 2021 juga ditemukan lonjakan tajam pengaduan yang terpengaruh oleh situasi pandemi, yaitu kekerasan berbasis gender siber (KBGS) naik sebesar 348 persen, yaitu 409 kasus pada tahun 2019 menjadi 1.425 kasus pada tahun 2020.
Ancaman dan/atau tindakan penyebaran materi bermuatan seksual milik korban dan pengiriman materi seksual untuk melecehkan atau menyakiti korban adalah dua jenis KBGS yang paling banyak terjadi. Pelakunya adalah mantan pacar ataupun akun anonim.
Peningkatan data pelaporan ini dikarenakan intensitas penggunaan internet di masa pandemi, tersosialisasinya pemahaman KBGS di kalangan publik, serta penguatan kecerdasan digital di kalangan perempuan muda.
Lanjut JJ cara Melaporkan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan persoalan yang perlu diselesaikan. Kerap kali, korban kekerasan tidak menyuarakan apa yang mereka alami, baik itu kekerasan secara fisik, mental, maupun seksual. Banyak di antara korban yang kesulitan melapor atau tak berani untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami.
Menurutnya, berdasarkan informasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) para korban kekerasan dapat melapor melalui layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129. Selain melapor ke layanan SAPA 129, masyarakat bisa melapor kekerasan yang dialami atau yang diketahui melalui WhatsApp di 08111129129.
Dikatakan JJ, dengan adanya akses layanan tersebut, pihaknya berharap masyarakat, terutama para korban tidak lagi takut melaporkan kekerasan. “Sudah seharusnya penyintas atau pelapor diberikan kemudahan dalam mengadukan kasusnya sehingga bisa ditangani sesegera mungkin.
Kami dorong para korban untuk berani melaporkan kekerasan yang mereka alami,” ujarnya. Ia mengatakan, call center SAPA 129 ini bertujuan mempermudah akses bagi korban atau pelapor dalam melakukan pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta pendataan kasusnya.
Layanan yang disediakan bekerja sama dengan PT Telekomunikasi Indonesia (PT Telkom Indonesia) dan merupakan revitalisasi layanan pengaduan masyarakat Kemen PPPA untuk melindungi perempuan dan anak.
Layanan tersebut juga merupakan implementasi Peraturan Presiden (PP) Nomor 65 Tahun 2020 Terkait Penambahan Tugas dan Fungsi Kementerian PPPA.
“Masyarakat, kementerian/lembaga atau unit layanan di daerah dapat melaporkan langsung kejadian kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditemui atau dialami,” kata JJ.
Kemen PPPA telah menyusun proses bisnis layanan rujukan akhir yang komprehensif bagi perempuan dan anak. Setidaknya terdapat enam layanan standar dalam penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan dan anak yang memerlukan perlindungan khusus. Yakni pelayanan pengaduan, penjangkauan, pengelolaan kasus, akses penampungan sementara, pelayanan mediasi, dan pelayanan pendampingan korban. (Penulis Diki.K)