Puluhan buruh mendirikan posko perjuangan di depan pabrik PT Danbi, sebagai bentuk aksi damai menagih hak yang belum mereka terima. Mereka menolak tunduk pada ketidakjelasan. Beberapa dari mereka sudah bekerja bertahun-tahun di perusahaan tersebut, namun kini merasa ditelantarkan tanpa kejelasan status, upah, dan pesangon. Kondisi ini diperparah oleh tidak adanya sikap tegas dari pihak perusahaan maupun pemerintah daerah.
Melihat kondisi tersebut, Presiden Ruang Rakyat Garut (RRG), Eldy Supriadi, turut menyuarakan keprihatinan. Ia menyebut bahwa May Day di Garut tahun ini menggambarkan secara gamblang bagaimana janji-janji politik telah jauh dari kenyataan di lapangan.
“Janji menciptakan 1,5 juta lapangan kerja yang digaungkan oleh pasangan calon kepala daerah itu hanya tinggal jargon kosong jika di saat yang sama buruh-buruh kita justru kehilangan pekerjaan dan diperlakukan tidak manusiawi. Buruh PT Danbi adalah cermin luka struktural kita hari ini,” tegas Eldy dalam keterangannya kepada wartawan, Kamis (01/05/2025).
Eldy menyebut bahwa pemerintah daerah harusnya tidak tinggal diam. Ia menuntut agar Bupati, Dinas Tenaga Kerja, dan DPRD Garut segera turun tangan menyelesaikan konflik ketenagakerjaan yang merugikan buruh. Menurutnya, membiarkan buruh bermalam dan bertahan di depan pabrik adalah bentuk ketidakpedulian yang mencoreng wajah kemanusiaan.
“Negara dan pemerintah daerah seharusnya hadir di tengah konflik ini. Jangan biarkan buruh melawan sendirian. Ini bukan hanya masalah upah, ini masalah harga diri,” lanjut Eldy.
Tak hanya itu, Eldy juga mengkritik keras bagaimana isu buruh sering kali hanya dimunculkan sebagai komoditas politik menjelang pemilihan. Setelah itu, suara buruh dilupakan. Ia mengajak masyarakat untuk membuka mata bahwa kesejahteraan buruh tidak bisa hanya dibangun lewat janji-janji kosong, tetapi harus lewat keberpihakan kebijakan yang konkret.
Di sisi lain, para buruh PT Danbi yang melakukan aksi mengaku semakin terpuruk. Mereka merasa ditelantarkan tanpa solusi, bahkan ketika mereka sudah berulang kali menyampaikan aspirasi melalui jalur formal. Kini, harapan mereka tertumpu pada tekanan publik dan solidaritas dari masyarakat sipil.
“Kami sudah berusaha damai, kami sudah kirim surat, bahkan bertemu pihak terkait, tapi tak ada kejelasan. Satu-satunya cara kami bisa didengar hanya dengan bertahan di sini,” ujar salah satu buruh yang enggan disebut namanya.
Aksi buruh PT Danbi ini pun mengundang simpati dari berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa, LSM, dan tokoh-tokoh pemuda Garut. Mereka menyebut perjuangan buruh bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan hak asasi manusia.
May Day di Garut, tahun ini, tak hanya menjadi simbol peringatan. Ia menjadi ajakan untuk bangkit, membuka mata bahwa buruh bukan alat produksi semata, melainkan manusia yang memiliki hak dan martabat.
“Jika pemerintah tak mampu melindungi buruh, maka masyarakat sipil harus bersatu. May Day bukan hari diam, ini adalah hari bersuara. Diam adalah bentuk penghianatan terhadap keadilan sosial,” pungkas Eldy Supriadi.
Selamat Hari Buruh Internasional. Dari Garut, suara perlawanan itu bergema—menembus batas janji kosong, menuntut hadirnya keadilan. (DIX)