(Oleh:Diki Kusdian)
Hidup adalah perjalanan panjang yang pasti akan membawa kita pada satu titik bernama “usia senja.” Saat tubuh mulai melemah, rambut memutih, dan langkah menjadi tertatih, kita menyadari bahwa masa muda yang penuh energi kini hanya tinggal kenangan.
Semua pencapaian, harta, jabatan, dan ambisi duniawi tak lagi memiliki arti yang sama. Yang tersisa hanyalah jejak kehidupan yang pernah kita lalui dan pertanyaan besar yang menghantui: sudahkah kita siap menghadap Ilahi?
Tua renta adalah fase di mana kita dihadapkan pada realitas kehidupan yang sebenarnya. Sahabat mulai berpulang satu per satu, anak-anak yang dulu kita besarkan kini sibuk dengan kehidupannya masing-masing, dan waktu terasa berjalan begitu cepat menuju kepastian yang tak bisa ditolak—kematian.
Pada titik ini, hanya amal dan kebaikan yang akan menjadi bekal. Semua kesalahan masa lalu, penyesalan, dan perbuatan yang belum sempat diperbaiki menjadi renungan dalam sunyi. Maka, mereka yang telah menghabiskan hidupnya dengan penuh kebajikan akan menemukan ketenangan, sementara yang terlena oleh dunia mungkin dihantui kegelisahan.
Karenanya, masa tua seharusnya bukan hanya tentang mengenang apa yang telah berlalu, tetapi juga tentang menata hati untuk kembali kepada Sang Pencipta. Ini adalah waktu terbaik untuk memperbanyak ibadah, memperbaiki hubungan dengan sesama, dan memohon ampun atas segala kekhilafan. Sebab, cepat atau lambat, kita semua akan menghadap Ilahi Rabbi.
Hidup ini hanya sebentar, dan kematian adalah kepastian. Semoga kita termasuk orang-orang yang dipanggil dalam keadaan husnul khatimah, meninggalkan dunia dengan tenang, serta membawa bekal yang cukup untuk perjalanan abadi di akhirat.
Keluhan Tua Renta: Antara Hikmah dan Cemoohan
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang kita mendengar keluhan dari orang tua renta—entah tentang kesehatan mereka yang menurun, kenangan masa lalu, atau sekadar perbedaan zaman yang terasa begitu jauh. Sayangnya, keluhan itu kerap dianggap sepele, bahkan menjadi bahan omongan atau ocehan generasi yang lebih muda.
Fenomena ini mencerminkan pergeseran nilai dalam masyarakat. Dahulu, petuah orang tua dihormati sebagai sumber kebijaksanaan, namun kini sering kali dianggap sebagai keluhan yang tidak relevan. Padahal, di balik setiap keluhan, ada pengalaman panjang dan pelajaran berharga yang bisa kita petik.
Bagi sebagian anak muda, keluhan orang tua terdengar seperti pengulangan yang membosankan. Mereka lupa bahwa usia tua membawa serta banyak keterbatasan—daya ingat melemah, fisik tak sekuat dulu, dan emosi yang lebih sensitif. Sayangnya, alih-alih bersabar dan memahami, tak sedikit yang justru menanggapi dengan keluhan balik atau mengabaikan mereka.
Ini bukan hanya soal kesantunan, tetapi juga soal bagaimana kita memandang kehidupan. Jika hari ini kita mengabaikan keluhan mereka, lantas bagaimana jika suatu hari nanti kita sendiri yang berada di posisi mereka? Bukankah kita pun kelak akan mengalami hal yang sama?
Menghargai keluhan orang tua bukan berarti kita harus selalu menurut atau larut dalam emosi mereka.
Namun, mendengarkan dengan penuh empati adalah bentuk penghormatan yang paling mendasar. Mungkin mereka tidak butuh solusi dari kita, cukup didengarkan, ditemani, dan diyakinkan bahwa mereka tetap berharga dalam keluarga dan masyarakat.
Jangan biarkan keluhan tua renta hanya menjadi ocehan tanpa makna. Sebab, di dalamnya ada hikmah yang mungkin baru kita sadari saat waktu sudah terlalu jauh berlalu.