Dalam pernyataannya, Tedi menyebut kondisi pendidikan Indonesia sebagai sebuah “ironi besar”. Bagaimana tidak, menurutnya, meskipun pemerintah telah menetapkan anggaran pendidikan sebagai salah satu yang terbesar dalam struktur APBN, namun hasil nyata di lapangan belum menunjukkan kemajuan signifikan.
“Delapan puluh tahun kita merdeka. Sejak itu, pendidikan menjadi prioritas demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi hari ini, kita justru menangis. Anggaran pendidikan terbesar, tapi capaiannya masih rapuh. Budaya sopan santun, ramah, bersahaja yang dulu kita banggakan kini mulai terkikis. Bergeser ke arah perilaku brutal, individualis, dan penuh ketidakadilan sosial,” tutur Tedi saat ditemui di sela-sela kegiatan refleksi Hardiknas yang digelar LIBAS di Garut.
Menurut Tedi, gejala degradasi moral dan budaya ini tak terlepas dari lemahnya sistem pendidikan yang gagal membangun karakter generasi muda. Ia menilai, dunia pendidikan Indonesia saat ini lebih fokus pada pencapaian akademik semata, tanpa mengiringinya dengan penguatan nilai-nilai moral, etika, dan budaya bangsa.
“Negara-negara lain sudah menciptakan teknologi canggih. Mobil dengan kecepatan suara, pesawat tanpa awak, sistem kecerdasan buatan. Sementara kita? Delman pun nyaris punah. Simbol kebudayaan kita satu per satu hilang, seolah kita hanya berlari di tempat, sementara dunia sudah berlari kencang,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Tedi mempertanyakan efektivitas kebijakan pendidikan yang selama ini dijalankan. Menurutnya, banyak program pendidikan yang bersifat proyek jangka pendek tanpa arah yang jelas, sehingga tidak mampu menjawab kebutuhan zaman.
“Apakah ini pertanda kita sedang kehilangan arah? Apakah pendidikan kita benar-benar diprioritaskan, atau hanya sekadar formalitas? Pendidikan seolah hanya jadi seremoni tahunan, tanpa evaluasi menyeluruh. Padahal pendidikan adalah tulang punggung kemajuan bangsa,” tegasnya.
Tedi juga menyoroti ketimpangan akses pendidikan di berbagai daerah. Ia menyebut masih banyak anak-anak di pelosok yang belum mendapat layanan pendidikan yang layak. Ketidakmerataan ini, menurutnya, menjadi salah satu penyebab kesenjangan sosial dan ekonomi yang terus melebar.
“Kita bicara tentang generasi emas 2045, tapi bagaimana mencapainya jika hari ini saja akses pendidikan belum merata? Guru-guru di daerah terpencil masih berjuang sendiri, fasilitas sekolah minim, kurikulum belum kontekstual. Ini bukan hanya tentang anggaran, tapi juga soal niat politik dan komitmen nyata,” ujarnya.
Ia menambahkan, lemahnya pendidikan juga berdampak pada rendahnya daya saing bangsa. Saat negara lain berlomba-lomba mencetak inovator dan ilmuwan, Indonesia masih berkutat pada masalah klasik seperti kekurangan guru, fasilitas rusak, hingga kebijakan yang berubah-ubah.
“Kalau begini terus, kita hanya akan jadi penonton di rumah sendiri. Dunia sudah berubah, dunia sudah berlari cepat. Kalau kita tidak segera berbenah, kita akan tertinggal jauh. Ini alarm keras yang harus kita dengar bersama,” imbuhnya.
Sebagai Ketua LIBAS, Tedi mengajak semua pihak, mulai dari pemerintah, akademisi, praktisi pendidikan, hingga masyarakat, untuk menjadikan Hari Pendidikan Nasional sebagai momentum perbaikan total. Menurutnya, reformasi pendidikan harus menyentuh akar persoalan, bukan hanya berhenti pada ganti kurikulum atau proyek fisik semata.
“Pendidikan bukan sekadar angka kelulusan atau nilai rapor. Pendidikan adalah proses membangun manusia seutuhnya cerdas, bermoral, berbudaya, dan berdaya saing. Kalau kita hanya sibuk mengejar ranking tanpa membangun karakter, percuma. Kita akan kalah sebelum bertanding,” pungkas Tedi.
Acara refleksi Hardiknas yang digelar di Alun-Alun Garut sendiri dihadiri oleh sejumlah Pejabat para aktivis pendidikan, perwakilan guru, pelajar, serta tokoh masyarakat. Dalam kegiatan tersebut, para peserta juga mendiskusikan berbagai permasalahan pendidikan di daerah, mulai dari sarana prasarana sekolah, kesejahteraan guru, hingga kurikulum yang dianggap kurang relevan dengan kebutuhan lokal. (DIX)