(Oleh: Diki Kusdian)
Kala senja merayap pelan di ufuk barat, sering kali aku duduk diam, menatap langit yang mulai meremang. Di saat seperti itu, kenangan masa kecil datang tanpa diundang,menyelinap masuk lewat celah sunyi di hati yang tak pernah benar-benar bisa melupakan.
Aku terlahir di sebuah kampung kecil, jauh dari hiruk-pikuk kota. Kampungku dulu tak mewah, tapi hangatnya melampaui istana. Ada aroma tanah basah setiap kali hujan turun.
Ada suara jangkrik di malam hari yang menemani tidurku. Ada tawa sahabat kecil saat bermain petak umpet di antara rumpun bambu. Semuanya terasa seperti mimpi yang manis dan kini, seperti mimpi pula, semua itu menguap perlahan.
Sawah yang dulu membentang luas, tempat kami mengejar capung dan menjerit riang saat kaki terperosok lumpur, kini telah berubah menjadi deretan tembok tak berjiwa. Pohon jambu yang dulu jadi saksi cinta monyet pertama, telah tumbang diganti pagar beton.
Sungai kecil tempat kami berlarian dengan tubuh basah dan hati bahagia, kini mengalir lesu keruh, dan kehilangan suara gemericiknya yang dulu nyaring menyanyikan kehidupan.
Wajah kampungku berubah. Tapi yang lebih menyakitkan, jiwanya pun perlahan menghilang.
Dulu, tak ada rumah yang tertutup rapat. Semua saling menyapa, saling singgah. Dulu, suara orang tua menjadi pelita yang memandu, bukan hanya deretan nasihat yang diabaikan.
Dulu, malam adalah waktu bercerita, bukan sekadar rebah di bawah sinar layar. Dulu… ah, terlalu banyak “dulu” yang kini hanya bisa kukenang.
Bukan aku tak menghargai perubahan. Bukan pula aku anti pada kemajuan. Tapi ketika kemajuan menelan akar, ketika modernisasi mencabut nilai-nilai kehidupan yang dulu begitu luhur, hati kecil ini pun menjerit lirih.
Apa artinya rumah yang megah jika kita kehilangan kehangatan? Apa gunanya teknologi canggih jika kita lupa cara memanusiakan manusia? Apa jadinya sebuah kampung jika yang tinggal hanya bangunan, tapi jiwanya telah lama pergi?
Kampung halamanku, dalam bentuk fisik, mungkin masih ada. Tapi kampung dalam ingatanku, dalam jiwaku,itu yang tak tergantikan.
Di sanalah aku belajar mencinta tanpa syarat, bersyukur dalam kekurangan, dan tertawa tanpa alasan. Itu semua kini tinggal serpihan kenangan yang kusimpan rapi dalam hati.
Aku tahu aku tak sendiri. Banyak dari kita yang merindukan hal yang sama, kesederhanaan yang penuh makna, kebersamaan yang tulus, dan alam yang memeluk tanpa pamrih.
Semoga suatu hari, kita bisa menciptakan kembali ruang-ruang kecil yang ramah, tempat anak-anak bisa bermain tanpa takut, tempat orang tua bisa bercerita tanpa tergesa, dan tempat di mana alam dan manusia bisa kembali berdamai.
Karena kampung halaman sejatinya bukan hanya tempat kita dilahirkan, tapi tempat di mana hati kita merasa pulang. Dan aku, akan selalu pulang,meski hanya dalam ingatan.