Harapan untuk menjadikan zakat sebagai alat pemberdayaan berkelanjutan berubah menjadi kekecewaan mendalam, setelah semua jalur komunikasi yang ditempuh komunitasnya tak mendapat tanggapan berarti.
Radit, yang lebih dari satu dekade terlibat dalam isu-isu kemanusiaan dan lingkungan, menginisiasi program penghijauan dan konservasi air di kawasan rawan kekeringan dan kemiskinan. Lewat pendekatan komunitas, program ini bertujuan meningkatkan kesadaran lingkungan dan memperkuat daya tahan sosial ekonomi warga.
Proposal Lengkap, Respons Nol
Disusun dengan analisis kebutuhan, dukungan tokoh masyarakat, dan rincian anggaran, proposal itu diajukan ke BAZNAS sejak awal 2023. Namun hingga kini, jawaban yang diterima tak lebih dari janji tanpa bukti. Berbagai upaya, dari surat elektronik hingga kunjungan langsung ke kantor BAZNAS, berakhir tanpa kejelasan.
“Janji ‘sedang diproses’ terdengar seperti mantra penunda. Tapi kenyataannya kami tidak pernah diberi tanggapan resmi,” ujar Radit saat diwawancara di lokasi penghijauan komunitasnya di Cibiuk, Jum’at (23/05/2025).
Baru Bergerak Setelah Viral
Perhatian publik baru terbangun setelah seorang anggota DPRD Garut menyinggung persoalan ini dalam forum terbuka dan ramai diperbincangkan di media sosial. BAZNAS pun mengirim tim survei, namun bagi Radit, langkah tersebut tampak lebih sebagai upaya meredam sorotan daripada komitmen sesungguhnya.
“Apakah semua harus viral dulu baru diperhatikan? Bagaimana dengan ratusan proposal lain yang diam di laci?” tanyanya.
Paradigma Zakat yang Perlu Diubah
Radit menyoroti pemahaman zakat yang masih terjebak dalam pola bantuan konsumtif. Menurutnya, potensi zakat sebagai investasi sosial jauh lebih besar. Ia menekankan, dukungan terhadap program pemberdayaan lingkungan bukan hanya solusi ekologis, tapi juga sosial.
“Menanam pohon dan mengelola air adalah cara membangun keberdayaan. Zakat seharusnya menjadi fondasi perubahan, bukan sekadar karitatif,” tegasnya.
Birokrasi: Dinding yang Membungkam Aspirasi
Sistem birokrasi yang kaku dan tertutup, menurut Radit, menjadi penghalang utama bagi masyarakat yang ingin berkontribusi. Minimnya transparansi dan lambannya proses menyulitkan inisiatif-inisiatif akar rumput untuk berkembang.
“Banyak warga punya ide brilian, tapi pupus karena sistem tak memberi ruang. Ini bukan soal bantuan, ini soal akses dan keadilan,” katanya.
Masih Menanti, Tetap Menanam Harapan
Kekecewaan tak membuat Radit menyerah. Ia berharap situasi ini menjadi pintu bagi reformasi kelembagaan di tubuh BAZNAS dan lembaga zakat lainnya menuju sistem yang lebih inklusif, transparan, dan responsif.
“Saya tidak mencari perlakuan istimewa, saya hanya menuntut keadilan bagi siapa saja yang ingin membangun,” pungkasnya.
Sambil menunggu kabar dari BAZNAS, Radit dan komunitasnya terus bergerak. Mereka menanam bibit, bukan hanya untuk menghijaukan lahan, tapi juga untuk menyemai harapan: bahwa zakat suatu hari nanti benar-benar menyentuh akar persoalan. (Red)