Nusaharianmedia.com 22 Desember 2025 – Permasalahan sengketa tanah hasil Redistribusi Tanah di Kabupaten Garut kembali mencuat dan menuai sorotan publik. Tokoh Pemuda Pelopor sekaligus Ketua Forum Warga Peduli Lahan Garapan (FWPLG) Kabupaten Garut, Ade Burhanudin, menilai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Garut gagal menjalankan tugas pelayanan pertanahan secara profesional dan berkeadilan, khususnya dalam pelaksanaan program redistribusi tanah.
Hal tersebut disampaikan Ade kepada awak media pada Senin (22/12). Ia menegaskan bahwa polemik redistribusi tanah saat ini telah berubah menjadi “bola panas” yang seluruh tanggung jawab administratif dan pengawasannya berada di tangan BPN Garut.
“Permasalahan ini tidak bisa terus dilempar ke bawah. Fakta di lapangan menunjukkan adanya ketimpangan serius, bahkan diduga sarat kepentingan,” ujar Ade.
Ade Burhanudin menuding adanya pembiaran maladministrasi serta lemahnya pengawasan internal di tubuh BPN Garut. Menurutnya, banyak masyarakat yang seharusnya menjadi subjek penerima redistribusi tanah, justru tidak tercantum dalam Surat Keputusan (SK) Redistribusi.
Ironisnya, kata Ade, terdapat pihak-pihak yang bukan penggarap asli, namun justru tercatat dan memperoleh SK redistribusi tanah.
“Penggarap asli yang sudah puluhan tahun mengelola lahan malah tidak masuk SK, sementara yang bukan penggarap justru mendapatkan hak. Ini jelas mencederai rasa keadilan dan tujuan Reforma Agraria,” tegasnya.
Ia menambahkan, hambatan administratif yang dialami warga menyebabkan ketidakpastian hukum, kerugian sosial-ekonomi, serta memperbesar potensi konflik agraria di tingkat masyarakat.
“Kami melihat banyak proses redistribusi yang seharusnya selesai dalam waktu wajar malah berlarut-larut tanpa penjelasan yang transparan dari BPN,” tambah Ade.
Redistribusi tanah merupakan salah satu instrumen utama Reforma Agraria, yang bertujuan memberikan kepastian dan akses hukum atas tanah kepada masyarakat yang berhak, terutama penggarap, petani tak bertanah, atau petani berlahan sempit, guna mewujudkan pemerataan penguasaan tanah dan keadilan sosial.
Program ini berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menegaskan bahwa tanah memiliki fungsi sosial dan penguasaannya harus memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi rakyat.
Sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan di bidang pertanahan, BPN wajib memberikan pelayanan yang cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel. Hal tersebut sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang mewajibkan setiap penyelenggara pelayanan publik, termasuk BPN, untuk memenuhi standar pelayanan demi kepastian hukum dan perlindungan hak masyarakat.
Selain itu, kewajiban pengawasan BPN juga diatur dalam sejumlah regulasi, di antaranya:
Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2020 tentang Badan Pertanahan Nasional, yang menegaskan fungsi BPN dalam perumusan kebijakan, pelaksanaan, serta pengawasan dan pengendalian pertanahan.
Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pertanahan, yang mewajibkan jajaran BPN melakukan monitoring, evaluasi, dan penindakan terhadap penyimpangan dalam pelayanan pertanahan.
Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan, yang menempatkan BPN sebagai pihak utama dalam pencegahan konflik dan sengketa agraria.
Ade menilai, tidak optimalnya fungsi pengawasan tersebut menjadi penyebab utama stagnasi redistribusi tanah di Garut.
“Jika pengawasan dijalankan dengan benar, tidak mungkin terjadi ketimpangan penerima redistribusi seperti sekarang. Ini kuat dugaan adanya pembiaran,” katanya.
Lebih lanjut, Ade menegaskan bahwa kondisi tersebut berpotensi masuk kategori maladministrasi, sebagaimana diatur dalam kewenangan Ombudsman Republik Indonesia, yang memiliki mandat untuk mengawasi pelayanan publik, termasuk pelayanan pertanahan.
“Ketika standar pelayanan dilanggar, pengawasan diabaikan, dan hak warga tercederai, itu sudah masuk wilayah maladministrasi,” tegasnya.
Hingga berita ini diturunkan, BPN Kabupaten Garut belum memberikan tanggapan resmi atas berbagai tudingan tersebut. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Garut juga belum menyampaikan klarifikasi terkait dugaan maladministrasi, pembiaran pengawasan, maupun polemik redistribusi tanah yang tengah mencuat.
Keterlambatan dan ketidaktepatan redistribusi tanah berpotensi menimbulkan dampak serius, antara lain, ketidakpastian status kepemilikan tanah yang telah lama digarap atau ditempati warga, meningkatnya potensi konflik agraria dan konflik horizontal antar warga, dan memperlebar jurang ketidakadilan sosial di kalangan masyarakat miskin dan rentan.
Dugaan permasalahan redistribusi tanah di Kabupaten Garut kembali membuka sorotan tajam terhadap kinerja dan pengawasan BPN Garut. Regulasi dan standar pelayanan publik telah jelas mengatur tugas dan tanggung jawab lembaga ini. Namun, fakta di lapangan menunjukkan masih adanya celah serius dalam tata kelola dan pengawasan, yang jika dibiarkan berlarut-larut berpotensi memperparah konflik agraria dan menggerus kepercayaan publik terhadap negara. (***)







