Garut, Nusaharianmedia.com – Di balik deretan rumah permanen Perumahan Jati Putra Asri, Blok A2 Nomor 18, Desa Cibunar, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, tersembunyi satu cerita getir yang tak pernah masuk dalam wacana besar pembangunan: kisah Juju Juariah (51), perempuan paruh baya yang hidup dalam rumah nyaris roboh bersama putrinya.
Atap bocor, dinding penuh retakan, dan lantai kusam menjadi saksi bisu kegigihan Juju mempertahankan hidup di tengah lingkungan yang terlihat ‘maju’. Hunian Juju kontras dengan narasi pembangunan yang kerap digaungkan Pemerintah Daerah Garut.
“Dulu katanya saya didata, tapi setelah itu hilang kabar. Bantuan memang ada, tapi saya tak pernah jadi bagian dari itu,” ujar Juju lirih saat ditemui pada. Sabtu, (19/04/2025).
Kemajuan Fisik, Ketimpangan Sosial
Lingkungan Perumahan Jati Putra Asri secara kasat mata tampak tertata—jalan rabat beton meski rusak, penerangan jalan terpasang, dan saluran air yang masih berfungsi. Namun, rumah Juju yang reyot berdiri sebagai simbol bahwa kemajuan infrastruktur tak serta merta menjamin kesejahteraan sosial.
Program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) seolah kehilangan arah. Nama Juju tak tercantum dalam daftar penerima bantuan, dari tingkat desa hingga pusat. Ia tak hanya dilupakan, tapi juga terhapus dari sistem yang seharusnya hadir untuk melindungi.
LIBAS: Sistem yang Gagal dan Tak Adil
Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), Tedi Sutardi, mengecam keras sistem yang abai. Baginya, kasus Juju mencerminkan kegagalan struktural.
“Bu Juju bukan korban ketidaktahuan, tapi korban dari sistem yang tidak mau melihat. Ini bukan lagi kesalahan prosedur, ini bentuk nyata dari ketidakadilan,” ujarnya.
LIBAS menemukan adanya data ganda, hingga rumah-rumah layak malah masuk sebagai penerima program. “Ini permainan. Sistem lebih mendengar koneksi daripada jeritan warga miskin,” kata Tedi tajam.
Desakan Bertindak: Nurani atau Sekadar Administrasi?
LIBAS mendesak Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Garut untuk segera turun tangan. Kepala Desa Cibunar dan Camat Tarogong Kidul pun diminta untuk tidak tinggal diam.
“Bantuan sosial bukan hadiah, itu hak warga negara. Jangan remehkan penderitaan hanya karena dia diam,” lanjut Tedi. LIBAS bahkan siap mendampingi Juju secara hukum jika diperlukan.
Penyesalan Warga: Diam yang Terlambat
Warga sekitar pun mulai merasa bersalah. “Dia orangnya tertutup, kami nggak tahu kalau kondisinya separah itu. Sekarang kami menyesal, tapi mungkin sudah telat,” ucap seorang warga yang enggan disebut namanya.
Pembangunan yang Tak Boleh Membutakan
Kisah Juju Juariah adalah pengingat bahwa keberhasilan tak hanya dilihat dari beton dan aspal, tapi dari seberapa banyak manusia yang diselamatkan dari kesengsaraan. Ia adalah potret dari yang terlewat, yang tak masuk data, dan yang tak pernah dipanggil dalam musyawarah.
Selama sistem masih tertutup dan tak transparan, selama suara warga miskin diabaikan, selama itu pula pembangunan hanya jadi proyek citra.
Akhir yang Belum Tuntas
Juju tak meminta banyak. Ia hanya ingin rumah yang tak bocor dan hidup yang tak dibayangi kecemasan. Namun hingga kini, negara masih belum sungguh hadir untuknya.
Media telah mencoba menghubungi Kepala Desa Cibunar via WhatsApp, namun hingga berita ini diturunkan, belum ada respons ataupun penjelasan terkait kondisi warganya. (Eldy)