Salah satu tokoh yang bersuara tegas dalam isu ini adalah Dadan N Ibrahim, SH., seorang pemerhati kebijakan publik sekaligus praktisi hukum muda asal Garut.
Dalam pernyataannya, Dadan mengajak seluruh pemangku kebijakan untuk menyikapi persoalan pertambangan ini secara serius, ilmiah, dan menyeluruh.
“Kegiatan pertambangan, baik legal maupun ilegal, harus dilihat bukan hanya dari sisi ekonomi dan perizinan semata, tapi juga dari dampaknya terhadap lingkungan hidup, struktur ruang, hingga kehidupan sosial warga sekitar. Ini soal keberlanjutan hidup,” ujar Dadan kepada awak media. Sabtu, (14/06/2025).
Tambang Tradisional: Sumber Nafkah yang Mengancam
Dadan menyampaikan keprihatinannya terhadap praktik tambang tradisional yang sering kali melibatkan warga ekonomi kecil sebagai pelaku utama. Mereka, menurutnya, tidak semata-mata memilih tambang sebagai jalan hidup, melainkan karena terbatasnya pilihan ekonomi di daerah.
“Ironisnya, masyarakat yang menggantungkan hidup dari tambang manual justru berada dalam posisi rentan. Ketika terjadi penertiban atau penegakan hukum yang tak berpihak, mereka bisa dikriminalisasi. Padahal akar persoalannya adalah kegagalan negara dalam menyediakan alternatif ekonomi yang layak,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa keadilan ekologis tidak boleh melupakan keadilan sosial. Dalam banyak kasus, keluarga para penambang terutama anak dan istri ikut menanggung beban dari sistem ekonomi yang timpang, bahkan tanpa mendapatkan perlindungan hukum maupun sosial yang memadai.
Seruan untuk Kajian Komprehensif Berbasis Ilmiah dan Historis
Dalam konteks kebijakan publik, Dadan mengusulkan perlunya kajian menyeluruh sebelum pemerintah baik daerah maupun pusat menerbitkan izin usaha pertambangan atau pengelolaan sumber daya alam lainnya. Kajian ini, menurutnya, harus berbasis literatur ilmiah, riset lingkungan, serta catatan sejarah wilayah terdampak.
Ia menyoroti lemahnya integrasi antara aspek ekologi dan pembangunan ekonomi dalam proses perizinan tambang. “Kalau hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa pertimbangan daya dukung lingkungan, maka itu bukan pembangunan, tapi penghancuran yang dilegalkan,” ujarnya tajam.
Penegakan Hukum Harus Profesional dan Adil
Dadan juga menyoroti aspek hukum dalam penertiban tambang ilegal. Ia mempertanyakan apakah aparat penegak hukum telah menjalankan tugasnya sesuai dengan prosedur dan bukti-bukti sah sebagaimana diatur dalam KUHP pasal 184 dan 185.
“Jika alat buktinya lengkap, maka penindakan harus tegas. Tapi kalau tidak, maka pendekatan hukum yang lebih restoratif dan edukatif justru menjadi pilihan yang lebih tepat,” katanya. Ia juga mengingatkan bahwa tujuan hukum bukan sekadar menghukum, tetapi memulihkan keadilan sosial dan memperbaiki sistem yang salah.
Solusi Alternatif: Ekonomi Konservasi dan Pemberdayaan Komunitas
Sebagai bentuk solusi jangka panjang, Dadan mendorong adanya alih fungsi ekonomi masyarakat tambang ke sektor yang lebih berkelanjutan, seperti:
Pelatihan kewirausahaan ramah lingkungan
Pengembangan ekowisata berbasis komunitas
Program rehabilitasi sosial bagi eks pelaku tambang
Skema kemitraan dengan lembaga konservasi dan akademisi
“Negara jangan hanya datang sebagai pengatur, tapi juga harus menjadi penyedia jalan keluar. Kita perlu pendekatan yang mengedepankan empati dan keadilan transformatif,” ujarnya.
Negosiasi Kepentingan dan Peran Negara
Persoalan tambang, lanjut Dadan, bukan semata urusan sumber daya alam, tetapi juga representasi bagaimana negara memperlakukan rakyatnya dalam kerangka pembangunan nasional. Apakah rakyat diposisikan sebagai subjek yang diajak bicara, atau sekadar objek yang dipaksa patuh terhadap kebijakan?
Menurutnya, ini adalah waktu yang krusial bagi seluruh pemangku kepentingan baik dari eksekutif, legislatif, penegak hukum, hingga unsur masyarakat sipil untuk duduk bersama menyusun peta jalan pembangunan yang adil dan berkelanjutan.
“Kita tidak bisa terus menerus mengorbankan alam dan rakyat demi target pertumbuhan. Harus ada keseimbangan antara ekonomi, ekologi, dan keadilan. Kalau tidak sekarang, kita hanya sedang menabung bencana untuk generasi mendatang,” pungkasnya.
Isu tambang di Garut kini bukan hanya tentang pasir dan emas. Ini adalah refleksi dari ketegangan antara kebutuhan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan nasib manusia yang terhimpit di antaranya.
Seruan Dadan Nugraha menjadi pengingat bahwa pembangunan sejati tidak boleh meninggalkan siapa pun terutama mereka yang paling terdampak dan paling tidak bersuara. (DIX)