Dalam keterangannya kepada media pada Kamis (26/06/2025) di Gedung Sekretariat daerah (Setda) Garut, Aris mengungkapkan bahwa pemerintah daerah melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) bersama aparat penegak hukum lainnya telah melaksanakan berbagai operasi penertiban. Meski demikian, kegiatan tersebut masih jauh dari maksimal karena keterbatasan sumber daya, terutama dalam hal anggaran operasional.
“Sebenarnya kegiatan penertiban anti maksiat sudah berjalan. Mulai dari Satpol PP hingga penegakkan hukum di lapangan. Tapi kami terbentur pada persoalan anggaran yang sangat terbatas,” ujar Aris.
Keterbatasan Anggaran Hambat Pengawasan Rutin
Persoalan minimnya alokasi dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Garut disebut menjadi hambatan utama. Menurut Aris, dengan anggaran yang ada saat ini, sulit untuk melakukan operasi secara rutin, menyeluruh, dan berkelanjutan di seluruh wilayah kecamatan yang tersebar di Kabupaten Garut.
Sejumlah operasi memang telah dilakukan di titik-titik yang dinilai rawan, seperti kawasan wisata, penginapan, dan tempat hiburan malam. Namun karena keterbatasan dana dan personel, kegiatan tersebut belum dapat menyentuh wilayah yang lebih luas. Akibatnya, berbagai praktik kemaksiatan masih terus meresahkan masyarakat dan belum bisa diberantas secara tuntas.
“Ada banyak laporan masyarakat yang masuk, tetapi karena keterbatasan operasional, Satpol PP tidak bisa setiap saat terjun ke lapangan. Harus ada intervensi kebijakan anggaran agar ini bisa berjalan lebih baik,” tambahnya.
Arah Baru Melalui Perubahan APBD Tahun 2025
Melihat urgensi permasalahan ini, Aris menegaskan bahwa DPRD Garut akan mendorong pemerintah daerah untuk menyusun langkah strategis melalui mekanisme perubahan anggaran daerah atau APBD-P (Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Tahun Anggaran 2025.
“Rencananya, kami bersama Bupati akan membahas ini dalam forum resmi pada bulan Juli atau Agustus mendatang. Harus ada anggaran khusus yang dialokasikan untuk penguatan fungsi pengawasan dan penertiban,” jelasnya.
Penambahan anggaran ini, lanjut Aris, tidak hanya untuk meningkatkan frekuensi operasi, tetapi juga untuk memperkuat sarana pendukung, pelatihan petugas, dan membangun sistem pelaporan masyarakat yang efektif. Ia menekankan pentingnya penanganan yang menyeluruh dan berbasis sistem, bukan hanya respons sesaat.
Sinergi dengan Tokoh Agama dan Elemen Masyarakat
Aris juga membuka ruang kolaborasi antara pemerintah, DPRD, dan elemen masyarakat, terutama tokoh agama dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki komitmen terhadap ketertiban sosial dan nilai-nilai moral. Menurutnya, masalah kemaksiatan bukan hanya soal hukum dan penertiban, tetapi juga persoalan sosial yang perlu diatasi secara holistik.
“Kami tidak bisa hanya mengandalkan Satpol PP atau aparat kepolisian. Ini harus jadi gerakan bersama. Harus ada penyadaran, pembinaan, dan pengawasan yang berbasis masyarakat,” ungkap Aris.
Langkah sinergis ini dinilai penting karena dampak kemaksiatan bukan hanya bersifat individu, melainkan juga mengganggu ketenangan sosial dan dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi norma dan etika.
Garut dan Tanggung Jawab Sebagai Kota Santri
Aris Munandar mengingatkan bahwa Kabupaten Garut selama ini dikenal sebagai “kota santri”, sebuah identitas yang mengandung nilai moral dan tanggung jawab sosial yang besar. Oleh karena itu, menjaga marwah kota ini dari perilaku menyimpang adalah bagian dari amanah moral yang harus diemban bersama.
“Garut ini punya sejarah keagamaan yang kuat. Identitas kota santri bukan hanya simbol, tapi juga nilai yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita punya tanggung jawab untuk menjaga itu,” katanya tegas.
Menatap Masa Depan: Penertiban yang Terarah dan Berkelanjutan
Di akhir pernyataannya, Ketua DPRD Garut ini menyampaikan harapannya agar semua pihak dapat bersinergi dalam menciptakan suasana sosial yang kondusif, tertib, dan bermartabat. Ia juga optimistis, dengan dukungan anggaran yang memadai dan kerja sama lintas sektor, kegiatan penertiban dapat lebih terarah, sistematis, dan berkelanjutan.
“Kalau anggarannya ada dan semua pihak terlibat, saya yakin upaya ini bisa lebih efektif. Ini bukan soal hukuman semata, tapi soal membangun peradaban masyarakat yang beretika dan beradab,” tutup Aris. (DIX)