Alih-alih pulang membawa suka cita, banyak warga justru pulang dalam tangis, luka, bahkan kehilangan nyawa.
Kericuhan bermula saat warga berdesak-desakan memasuki area pembagian makanan gratis. Minimnya pengamanan, tidak adanya sistem antrean, serta kelalaian panitia dalam mengelola arus ribuan massa memicu kekacauan hebat.
Diketahui dalam hitungan beberapa menit, kerumunan menjadi sesak, jeritan minta tolong terdengar di antara tumpukan tubuh yang terhimpit. Tiga nyawa tak tertolong, termasuk seorang anak dan seorang anggota polisi. Belasan lainnya luka-luka dan dilarikan ke RSUD dr. Slamet Garut.
Ketua Gapermas: Ini Bukan Musibah, Ini Kelalaian Struktural
Tragedi ini langsung mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan, salah satunya datang dari Ketua Gapermas (Generasi Pemberdayaan Masyarakat) Kabupaten Garut, Asep Mulyana, S.Pd.I. Dalam keterangannya kepada media, Sabtu (19/07/2025), Asep menyatakan keprihatinan mendalam sekaligus mengecam keras kelalaian fatal yang terjadi.
“Ini bukan semata musibah. Ini adalah akibat dari kelalaian struktural dalam perencanaan dan penyelenggaraan acara. Kita tidak sedang membahas soal kekurangan logistik, tapi soal nyawa manusia yang melayang akibat buruknya manajemen kegiatan publik,” tegas Asep.
Menurutnya, penyelenggaraan acara yang melibatkan massa dalam jumlah besar seharusnya didesain dengan matang, termasuk memperhatikan protokol keselamatan, pengamanan, dan antisipasi kerumunan. Ia menyebut apa yang terjadi sebagai bentuk kegagalan sistemik dan mengkhawatirkan bila dianggap hal yang wajar dalam acara seremonial pejabat.
Korban Jiwa dan Luka: Nyawa Rakyat Bukan Harga yang Layak Dibayar untuk Euforia
Tiga korban tewas telah teridentifikasi. Mereka adalah:
Vania Aprilia (8 tahun), warga Sukamentri, Kecamatan Garut Kota.
Dewi Jubaedah (61 tahun), warga Jakarta Utara yang datang karena kabar pembagian makanan gratis.
Bripka Cecep Saeful Bahri (39 tahun), anggota Polres Garut yang gugur saat menjalankan tugas pengamanan.
Lebih dari 14 warga lainnya mengalami luka-luka ringan hingga serius. Beberapa di antaranya mengalami patah tulang akibat terjatuh dan terinjak-injak dalam kekacauan.
Asep Mulyana menekankan bahwa ini bukan sekadar peristiwa yang bisa ditutup dengan ucapan duka dan belasungkawa. Ia menuntut evaluasi total terhadap pola penyelenggaraan acara publik, terlebih bila melibatkan nama-nama besar dalam jajaran pejabat daerah maupun provinsi.
“Rakyat datang karena undangan terbuka, bukan untuk dipertontonkan kemewahan, tapi untuk ikut bersyukur. Sayangnya, mereka tidak disambut dengan sistem yang aman. Mereka disambut dengan kegagalan manajemen, yang bahkan menewaskan petugas keamanan sendiri. Ini sangat fatal,” ujarnya dengan nada prihatin.
Panitia dan Pejabat Dinilai Abai, Hanya Mengejar Pencitraan
Asep tidak segan mengkritik para pejabat dan panitia penyelenggara yang dianggapnya hanya mengejar kemewahan acara demi citra politik belaka, tanpa memperhatikan dampak sosial dan keselamatan publik.
“Ketika rakyat datang dengan perut lapar, itu bukan pemandangan yang memalukan. Yang memalukan adalah ketika para pejabat tidak mampu menyediakan sistem yang menjamin keselamatan mereka,” katanya.
Ia menegaskan bahwa narasi “pesta rakyat” yang dibalut dengan semangat kesederhanaan dan kebersamaan hanyalah topeng belaka. Pada praktiknya, pelaksanaan acara tidak mencerminkan nilai-nilai tersebut. Tidak ada sistem antrean, tidak ada pembagian zona, dan nyaris nihil pengawasan di titik-titik rawan kerumunan.
Tuntutan Penyelidikan dan Sanksi Tegas
Gapermas Garut mendesak agar Pemkab Garut dan aparat penegak hukum tidak tinggal diam. Mereka meminta dilakukan penyelidikan terbuka terhadap siapa saja yang terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan tersebut, serta memberikan sanksi tegas kepada pihak yang terbukti lalai.
“Kami tidak ingin tragedi ini menjadi berita musiman. Jangan biarkan nyawa rakyat jadi tumbal kesalahan elit. Harus ada sanksi. Harus ada keadilan. Jangan sampai ada pesta rakyat lagi yang berubah jadi liang kubur,” tegas Asep.
Menurutnya, tragedi ini adalah momentum penting untuk merumuskan ulang standar keamanan dalam penyelenggaraan acara besar yang melibatkan masyarakat luas. Ia mengusulkan agar ke depan dibentuk tim independen untuk mengaudit kesiapan acara publik yang diselenggarakan oleh atau atas nama pejabat.
Doa untuk Korban, Harapan untuk Perubahan
Mengakhiri pernyataannya, Asep Mulyana mengajak seluruh pihak untuk mendoakan para korban dan memberikan dukungan moril kepada keluarga yang ditinggalkan. Ia berharap kejadian memilukan ini tidak menjadi luka yang terus berulang di masa depan.
“Semoga para korban mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan Yang Maha Esa, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan. Tapi lebih dari itu, kami berharap ini menjadi alarm moral bagi semua. Keselamatan rakyat tidak boleh jadi hal yang disepelekan hanya demi pencitraan atau popularitas sesaat,” pungkasnya.
Tragedi pesta rakyat ini telah mencederai makna syukuran itu sendiri. Ketika rakyat datang untuk berbagi kebahagiaan, yang mereka terima justru duka mendalam. Kini, publik menunggu: siapa yang akan bertanggung jawab? (DIX)