Menurutnya, keberhasilan program nasional ini sangat bergantung pada kapasitas desa sebagai simpul pelayanan dan distribusi gizi.
“Desa Tangguh, Bangsa Kuat bukan hanya semboyan, tapi arah kebijakan nyata. Jika kita ingin mengatasi stunting, memperkuat ekonomi rakyat, dan mewujudkan kedaulatan pangan, maka desa harus kita posisikan sebagai aktor utama, bukan hanya sebagai penerima manfaat,” tegas Dede dalam diskusi kebijakan yang digelar di Bandung, Jawa Barat. Kamis,(26/06/2025).
Program MBG Sebagai Titik Balik Ekonomi Desa
Dede menilai bahwa Program MBG bukan sekadar kebijakan populis, tetapi merupakan strategi nasional yang menyasar dua hal mendasar sekaligus: perbaikan gizi anak-anak dan penguatan ekonomi lokal berbasis desa. Untuk itu, ia mendorong agar pelaksanaan program ini tidak dilakukan secara sektoral dan birokratis, tetapi melalui pendekatan kolaboratif dan partisipatif dengan mengandalkan lembaga ekonomi desa yang sudah ada.
“BUMDes dan Koperasi Merah Putih harus menjadi pelaksana utama program ini di lapangan. Bukan pihak ketiga dari luar yang tidak memahami ekosistem sosial dan ekonomi desa,” katanya.
Menurut Dede, Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2024 tentang Standar Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) telah membuka ruang untuk pelibatan kelembagaan lokal. Bahkan, PP No. 11 Tahun 2021 memperkuat status hukum BUMDes sebagai badan usaha yang sah dan bisa menjalankan fungsi komersial maupun sosial.
Lebih lanjut, Dede menyoroti Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2025 tentang Koperasi Merah Putih, yang memberikan mandat bagi koperasi desa untuk menjadi simpul distribusi sembako murah, logistik, layanan publik seperti pembayaran listrik dan data, hingga kerja sama dengan BUMN seperti PLN dan Telkomsel.
“Kalau kita lihat regulasi, ini sudah sangat progresif. Tantangannya tinggal bagaimana daerah bisa menyelaraskan dan mengeksekusi. Peran kepala daerah dan DPRD sangat menentukan dalam hal ini,” imbuhnya.
Tantangan Implementasi di Lapangan
Namun demikian, Dede tidak menutup mata terhadap realitas tantangan di lapangan. Ia menyebut bahwa banyak BUMDes belum memiliki kapasitas bisnis yang memadai untuk mengelola dapur layanan gizi. Di sisi lain, masih ada daerah yang belum menerbitkan regulasi teknis untuk mendukung implementasi program MBG secara optimal.
“Ini bukan semata masalah anggaran, tapi soal leadership. Kepala daerah bisa menggunakan diskresi administratif sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 untuk menerbitkan SK atau Perbup yang menjembatani kekosongan regulasi dan mempercepat pelaksanaan program,” ujarnya.
Dede menyarankan agar kepala desa bersama pengurus BUMDes segera melakukan revisi business plan, mengikuti model SPPG, serta mengikuti pelatihan manajemen keuangan, logistik, dan rantai pasok pangan.
Sementara itu, koperasi desa, menurutnya, harus didorong menjadi entitas bisnis multifungsi, tidak hanya bergerak di bidang simpan pinjam, tetapi juga mengelola berbagai sektor strategis seperti:
Distribusi gas LPG subsidi
Penyaluran pupuk dan bibit pertanian
Penyedia jasa pembayaran listrik, pulsa dan data
Cold storage dan gudang pangan
Distributor sembako yang terhubung langsung ke produsen dan gudang logistik kabupaten
Unit keuangan mikro berbasis koperasi
“Kita harus membangun koperasi sebagai pusat layanan masyarakat desa yang inklusif dan berkelanjutan. Inilah makna kedaulatan ekonomi dari bawah,” tambah Dede.
Usulan Pembentukan Satgas Percepatan Program MBG
Dalam rangka mempercepat dan memastikan implementasi program berjalan secara optimal, Dede juga mendorong pembentukan satuan tugas lintas aktor di tingkat kabupaten/kota yang melibatkan unsur pemerintah desa, dinas terkait, koperasi, dan DPRD.
“Satgas ini harus menjadi penghubung antara pusat dan daerah, serta antara kebijakan dan pelaksanaan. Kita tidak boleh biarkan program sebesar ini kehilangan arah karena minim koordinasi,” tandasnya.
Harapan untuk Transformasi Nasional Berbasis Desa
Di akhir keterangannya, Dede Kusdinar menyampaikan harapan agar desa tidak lagi dianggap sebagai beban pembangunan, melainkan sebagai pusat transformasi sosial dan ekonomi Nasional.
Di sisi lain, dia meyakini bahwa dengan keberpihakan regulasi, sinergi kelembagaan, dan keberanian kepala daerah mengambil langkah strategis, Program Makan Bergizi Gratis akan menjadi tonggak penting menuju Indonesia yang sehat, kuat, dan mandiri dari desa.
“Transformasi bangsa harus dimulai dari desa. Jika kita mampu membangun desa yang tangguh, maka kita sedang membangun fondasi kokoh bagi kejayaan Indonesia ke depan,” pungkasnya. (Red)