Nusaharianmedia.com 26 November 2025 // Bandung — Indonesia merupakan negara super power panas bumi dunia, dengan cadangan mencapai 40% dari total potensi global. Dari sekitar 28 gigawatt (GW) potensi panas bumi nasional—setara dengan 12 miliar barel minyak—baru 1.100 MW atau sekitar 4,2% yang berhasil dimanfaatkan. Sebagian besar potensi itu berada di Provinsi Jawa Barat, salah satu wilayah penghasil panas bumi terbesar di Indonesia.
Provinsi Jawa Barat, dengan luas 44.354,61 km², memiliki potensi panas bumi sebesar 6.096 MW dari 40 titik manifestasi, namun kapasitas terpasang baru mencapai 1.057 MW.
Di Jawa Barat terdapat tujuh Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi, yakni:
WKP sebelum UU No. 27/2003
1. WKP Cibeureum Parabakti
2. WKP Pangalengan
3. WKP Kamojang–Darajat
4. WKP Karaha–Cakrabuana
WKP setelah UU No. 27/2003
5. WKP Tangkuban Parahu
6. WKP Tampomas
7. WKP Cisolok Cisukarame
Selain itu terdapat dua pengusahaan skala kecil di Cibuni dan Ciater, Tangkuban Parahu.
Saat ini, beberapa PLTP yang telah beroperasi di Jawa Barat antara lain:
Chevron G. Salak Ltd – 375 MW
Star Energy Geothermal Ltd (SEGL) Wayang Windu – 227 MW
PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Kamojang – 200 MW
Chevron Geothermal Indonesia Ltd (CGI) Darajat – 255 MW
Total produksi mencapai 1.057 MW.
Pemerintah pusat berupaya terus meningkatkan pemanfaatan energi panas bumi dengan mengatasi berbagai hambatan, termasuk kepastian harga melalui Permen ESDM Nomor 02 Tahun 2011 tentang penugasan PLN membeli listrik dari PLTP.
GPMB Nilai Distribusi DBH Tidak Adil
Ketua Gerakan Penyelamat Marwah Bumi (GPMB), Rofi Taufik N, menegaskan bahwa daerah penghasil panas bumi seharusnya mendapatkan perhatian lebih, sebagaimana amanat UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. Dalam aturan tersebut, daerah penghasil berhak mendapatkan manfaat pembangunan melalui Dana Bagi Hasil (DBH) Panas Bumi.
Namun, dalam audiensi GPMB bersama DPRD Jawa Barat yang juga dihadiri Bappeda, Bapenda, dan ESDM Jawa Barat, ditemukan fakta bahwa pengelolaan DBH justru dinilai tidak adil.
“Selama ini DBH Panas Bumi yang masuk ke Jawa Barat dikelola oleh satu instansi, yaitu ESDM Provinsi. Namun penggunaannya tidak memberikan dampak signifikan bagi daerah penghasil,” ujar Rofi.
Rofi menyampaikan bahwa pihaknya merasa kecewa dan murka karena dana yang seharusnya diperuntukkan bagi pembangunan di daerah penghasil, justru dialokasikan untuk kegiatan yang dianggap tidak relevan.
“Ini ironi. Dana bagi hasil mestinya digunakan untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah penghasil, bukan untuk kebutuhan lain. Sayangnya, hingga kini belum ada aturan yang mengikat mengenai mekanisme pengelolaan DBH Panas Bumi di Jawa Barat,” tegasnya.
GPMB Ajukan Dua Tuntutan Utama
Melihat kondisi tersebut, Ketua Umum GPMB meminta dua hal penting kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, baik legislatif maupun eksekutif:
1. Distribusi DBH Panas Bumi Harus Diprioritaskan untuk Daerah Penghasil
Agar daerah penghasil merasakan manfaat nyata berupa pembangunan infrastruktur, suprastruktur, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Membentuk Regulasi Pengelolaan DBH
Baik dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Bupati (Perbup) sebagai dasar hukum dan acuan distribusi DBH yang adil, transparan, dan tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu.
“Dengan adanya regulasi, daerah penghasil memiliki kepastian dalam memperoleh DBH, dan pemantauannya dapat dilakukan secara jelas, transparan, dan tidak bisa diselewengkan,” tutup Rofi.
(Hil)







