Garut,Nusaharianmedia.com – Arah kepemimpinan daerah dan kebijakan publik di Kabupaten Garut, Jawa Barat kembali menuai sorotan tajam dari masyarakat dan pegiat lingkungan.
Banyak pihak menilai, ambisi kekuasaan dan kepentingan pembangunan jangka pendek telah mengaburkan komitmen terhadap prinsip-prinsip kelestarian lingkungan.
Kawasan hijau yang seharusnya dijaga justru kini menjadi sasaran alih fungsi dan eksploitasi tanpa dasar ilmiah dan etika ekologis.
Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), Tedi Sutardi, angkat bicara mengenai fenomena tersebut. Ia menyoroti lemahnya kepedulian pemangku kebijakan terhadap keberadaan tanaman langka dan kawasan hutan yang memiliki nilai ekologis tinggi.
“Kepemimpinan yang seharusnya melindungi masa depan justru menjadi ancaman bagi keberlanjutan lingkungan. Apakah mereka tahu jenis tanaman yang ditebang itu masuk kategori langka dan berusia ratusan tahun? Apakah mereka memahami nilai ekologis dari satu pohon besar bagi kestabilan tanah, udara, dan air? Ini pertanyaan yang sampai hari ini belum dijawab,” tegas Tedi.
Menurutnya, kebijakan yang tidak berbasis pada kajian ekosistem dan hukum lingkungan akan membawa dampak serius. Tak hanya kerusakan lingkungan secara fisik, tetapi juga hilangnya identitas dan kearifan lokal yang selama ini menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Di beberapa titik, kata Tedi, penebangan pohon besar dan pembukaan lahan untuk kepentingan proyek telah dilakukan tanpa konsultasi publik maupun studi lingkungan yang transparan. Padahal, kawasan-kawasan tersebut merupakan bagian dari wilayah resapan air dan rumah bagi keanekaragaman hayati lokal.
“Kami menduga ada pelanggaran terhadap UU Lingkungan Hidup dan aturan konservasi yang seharusnya menjadi rujukan setiap kebijakan. Jangan sampai semangat pembangunan dijadikan tameng untuk merusak ekosistem,” lanjutnya.
Masyarakat pun turut mempertanyakan integritas kepemimpinan daerah saat ini. Apakah mereka masih menjunjung tinggi amanat pembangunan berkelanjutan? Ataukah yang sedang terjadi adalah upaya mempertahankan kekuasaan tanpa mempertimbangkan dampak panjang bagi generasi yang akan datang?
Sejumlah warga menyuarakan keprihatinannya terhadap alih fungsi lahan yang semakin masif. Di Cikajang, misalnya, pembukaan lahan untuk infrastruktur telah mengikis kawasan hijau yang selama ini menjadi penyangga utama dalam siklus air dan udara.
“Pembangunan itu penting, tapi harus berwawasan lingkungan. Kita bukan anti pembangunan, kita hanya ingin ada tanggung jawab jangka panjang. Kalau hutan habis, siapa yang rugi? Ya, kita sendiri,” ujar seorang warga yang tak ingin disebutkan namanya.
Tedi Sutardi menambahkan, Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa tengah menyusun laporan resmi yang akan disampaikan kepada instansi lingkungan hidup dan kehutanan tingkat provinsi hingga nasional. Ia juga mendorong pembentukan tim independen untuk melakukan audit lingkungan terhadap proyek-proyek pembangunan yang berpotensi merusak kawasan hijau.
“Jangan sampai Garut yang dikenal kaya akan keindahan alam, justru menjadi simbol dari kegagalan tata kelola lingkungan. Kepemimpinan itu bukan hanya soal jabatan, tapi soal keberanian menjaga warisan alam untuk anak cucu,” tutup Tedi.Masyarakat dan pegiat lingkungan kini menanti langkah konkret pemerintah daerah.
Apakah mereka akan mendengar suara publik dan merevisi kebijakan yang dinilai menyimpang? Ataukah akan terus berjalan dengan keangkuhan kekuasaan yang membungkam kritik dan menutup mata terhadap kerusakan?
Garut hari ini sedang berada di persimpangan. Masa depan lingkungan hidup sangat tergantung pada pilihan yang diambil hari ini. Dan seperti yang diungkapkan oleh banyak pihak: jangan sampai kita sadar saat semuanya sudah terlambat. (Red)