Garut, Opini Nuharianmedia.com – Dalam dinamika kehidupan sosial, perbedaan usia dan kondisi ekonomi sering kali menjadi faktor yang mempengaruhi cara pandang serta interaksi antarindividu.
Tidak jarang, seseorang yang telah memasuki usia senja justru dipandang sebagai beban atau kerap dicurigai hanya karena mereka mengeluhkan kondisi yang tidak lagi berpihak kepada mereka. Di sisi lain, generasi muda yang telah mencapai kesuksesan ekonomi sering kali terjebak dalam euforia kekayaan, yang tanpa disadari melahirkan sikap egoistis dan meremehkan mereka yang dianggap tidak lagi produktif.
Fenomena ini mencerminkan ketidakseimbangan dalam memahami nilai kehidupan. Sebab, seseorang yang kini berjaya tidak terlepas dari perjalanan waktu yang sewaktu-waktu bisa berbalik arah.
Hukum alam dan keseimbangan sosial mengajarkan bahwa hujan tidak akan turun selamanya, sebagaimana langit cerah pun tidak akan abadi. Siklus ini mengingatkan bahwa keangkuhan atas pencapaian sementara berisiko menciptakan keterpurukan di masa depan.
Dalam perspektif moral dan sosial, merendahkan orang tua—terutama mereka yang telah melalui pahit manis kehidupan—adalah cerminan dari kebutaan terhadap nilai-nilai empati dan penghormatan.
Kesuksesan yang tidak disertai kebijaksanaan hanya akan menjadi ilusi kejayaan sesaat yang rentan runtuh oleh perubahan keadaan. Adalah bijak bagi generasi muda untuk memahami bahwa kehidupan tidak berjalan linier; hari ini berada di puncak, esok bisa terjatuh tanpa peringatan.
Maka, sebelum karma berbicara, sebelum keangkuhan berubah menjadi penyesalan, dan sebelum nasib berbalik arah, penting untuk menanamkan kesadaran bahwa kehidupan adalah siklus yang selalu bergerak.
Menghormati yang tua, memahami keluhan mereka, serta merendahkan ego saat berada di puncak adalah investasi moral yang akan melindungi seseorang dari kejatuhan yang menyakitkan di kemudian hari. (Penulis Diki Kusdian)