(Oleh: Diki Kusdian)
Pendidikan merupakan hak dasar setiap anak, namun realitanya, berbagai pungutan yang tidak semestinya masih menjadi beban bagi para orang tua. Ironisnya, komite sekolah yang seharusnya menjadi jembatan antara sekolah dan wali murid justru sering dituding lebih memihak kepentingan sekolah dibandingkan aspirasi orang tua.
Alih-alih menjalankan fungsi pengawasan secara independen, banyak komite sekolah justru mendukung kebijakan pungutan, seperti uang bangunan, iuran kegiatan, hingga SPP. Padahal, pemerintah telah mencanangkan program pendidikan gratis yang seharusnya menghapus beban biaya tersebut.
Lebih miris lagi, orang tua yang mempertanyakan kebijakan ini kerap mendapat stigma negatif atau bahkan tekanan sosial agar mengikuti aturan yang ada.
Fenomena ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Jika pendidikan memang dianggap sebagai prioritas pembangunan bangsa, maka praktik pungutan liar di sekolah harus segera diberantas.
Diperlukan reformasi peran komite sekolah agar lebih transparan dan berpihak pada kepentingan siswa serta wali murid. Pemerintah juga harus memperketat pengawasan terhadap dana pendidikan, memastikan transparansi anggaran sekolah, serta menghapus pungutan yang tidak memiliki dasar hukum.
Selain itu, mekanisme pengaduan yang aman dan efektif bagi wali murid harus disediakan, agar mereka bisa melaporkan pungutan tak wajar tanpa takut akan intimidasi.
Kini, pertanyaannya adalah: akankah pemerintah benar-benar tegas menindak praktik pungutan ini? Ataukah fenomena ini akan terus berlanjut dengan dalih “kesepakatan” yang membebani masyarakat?
Jika pendidikan berkualitas dan bebas biaya memang menjadi prioritas, maka sudah saatnya pemerintah menunjukkan keseriusan dengan kebijakan yang nyata dan berdampak langsung.