(Oleh: Achmad Syafei,SH.)
Organisasi hadir dalam berbagai bentuk dan tujuan, mulai dari yang berkembang pesat hingga yang berjalan lamban. Banyak faktor yang memengaruhi kondisi ini, seperti sumber daya manusia, struktur kepemimpinan, hingga aturan internal. Namun, sebuah pertanyaan penting layak diajukan: siapa sebenarnya pemilik organisasi?
Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, organisasi idealnya dimiliki oleh seluruh anggotanya. Hak dan kewajiban anggota diatur secara setara untuk menjamin keterlibatan kolektif dalam menentukan arah dan kebijakan. Sayangnya, kenyataan di lapangan seringkali tidak sejalan dengan aturan ini. Banyak organisasi dikuasai oleh segelintir orang yang merasa lebih dominan dan berhak menentukan segalanya.
Fenomena ini memunculkan praktik otoriter di mana keputusan organisasi hanya berpusat pada satu pihak. Bahkan, ada oknum yang mengklaim bahwa organisasi adalah “miliknya”, sehingga menutup ruang bagi anggota lain yang berbeda pandangan. Ironisnya, praktik semacam ini sering diterima tanpa perlawanan oleh anggota, menciptakan sebuah “organisasi pribadi” yang menjauh dari prinsip demokrasi.
Apakah perilaku tersebut mencerminkan kecerdasan atau justru egoisme yang membatasi kebijaksanaan? Dalam demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, praktik semacam ini tidak seharusnya terjadi. Organisasi seharusnya menjadi ruang inklusif bagi seluruh anggota untuk berbagi gagasan dan bekerja bersama mencapai tujuan bersama.
Refleksi ini mengingatkan kita semua untuk menjaga prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi dalam berorganisasi. Sebab, pada hakikatnya, organisasi adalah milik bersama, bukan milik individu atau kelompok tertentu.







