Dalam sebuah pernyataan resmi, Tedi menyoroti lemahnya pengawasan serta adanya indikasi kuat pembiaran oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab.
Dalam pemaparannya, Tedi mengupas tuntas regulasi yang mengatur tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Ia menegaskan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan menjadi rujukan utama dalam menghadapi persoalan ini.
“Undang-Undang ini bukan hanya mengatur tentang apa yang disebut sebagai perusakan hutan, tetapi juga menetapkan larangan, ancaman pidana, dan sanksi berat untuk pelaku maupun pihak yang melakukan pembiaran,” ujarnya. Minggu, (27/04/2025).
Penjabaran Regulasi Perusakan Hutan
Tedi menjelaskan, dalam Pasal 1 angka 3 UU 18/2013, perusakan hutan didefinisikan sebagai proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan tanpa izin, atau penggunaan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.
Lebih lanjut, Pasal 12 menegaskan berbagai larangan, di antaranya:
Penebangan pohon di kawasan hutan tanpa izin.
Penebangan pohon secara tidak sah.
Penebangan pohon tidak sesuai dengan izin pemanfaatan yang sah.
Sementara itu, Pasal 15 mengatur ancaman pidana bagi pelaku perusakan hutan, dengan hukuman maksimal 5 tahun penjara serta denda hingga Rp2,5 miliar. Untuk kasus perusakan yang dilakukan secara terorganisasi, Pasal 89 menetapkan ancaman hukuman lebih berat, yakni pidana penjara hingga 20 tahun.
Lebih penting lagi, Tedi menyoroti Pasal 83 ayat (1) huruf b yang menyatakan bahwa tindakan pembiaran terhadap perusakan hutan juga dapat dikategorikan sebagai kejahatan.
“Artinya, pejabat atau pihak yang punya kewenangan tapi membiarkan kerusakan terjadi tanpa tindakan apapun, juga harus bertanggung jawab di hadapan hukum,” tegasnya.
Tambang Pasir dan Batu, di Bawah Bayang-Bayang Pelanggaran
Selain isu hutan, Tedi turut mengangkat masalah pertambangan ilegal, khususnya tambang pasir dan bebatuan yang merupakan bagian dari bahan galian golongan C. Menurutnya, aktivitas ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dengan pembaruan dalam UU Nomor 3 Tahun 2020.
“Setiap aktivitas pertambangan bahan galian golongan C harus memiliki Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB) dari pemerintah daerah. Tanpa izin tersebut, seluruh kegiatan pertambangan dinyatakan ilegal dan dapat dikenai sanksi pidana,” jelas Tedi.
Ia menilai lemahnya pengawasan dan ketegasan dalam menindak pertambangan ilegal telah memperparah kerusakan ekosistem di beberapa wilayah di Garut.
LIBAS Melaporkan Dugaan Pembiaran
Untuk memperkuat langkah hukum, LIBAS telah melayangkan empat dokumen laporan resmi kepada berbagai instansi, antara lain:
DPRD Kabupaten Garut, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Polres Garut, Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Garut, semua laporan tersebut kini telah diteruskan kepada aparat penegak hukum melalui Gakkum.
Dalam laporan itu, LIBAS menekankan adanya indikasi kuat pembiaran atas aktivitas perusakan hutan dan pertambangan ilegal yang terjadi di sejumlah titik.
“Kami tidak hanya menyoroti pelaku langsung, tetapi juga dugaan kelalaian pejabat dan institusi yang seharusnya bertindak namun malah diam,” kata Tedi.
Ia menambahkan, pembiaran tersebut bukan sekadar tindakan pasif, melainkan bentuk nyata pelanggaran hukum yang harus diproses secara serius.
Komitmen LIBAS Terhadap Lingkungan
Tedi menegaskan, LIBAS berkomitmen penuh untuk terus mengawal upaya perlindungan lingkungan di Garut dan sekitarnya. Ia berharap, seluruh elemen masyarakat ikut serta dalam mengawasi dan melaporkan setiap aktivitas ilegal yang berpotensi merusak alam.
“Kerusakan hutan dan lingkungan bukan hanya urusan generasi sekarang. Ini menyangkut masa depan anak cucu kita. Penegakan hukum harus tegas tanpa pandang bulu,” tutupnya.
Saat ini, LIBAS masih menunggu tindak lanjut dari laporan-laporan yang telah disampaikan. Mereka pun siap melakukan langkah-langkah hukum lebih lanjut apabila tidak ada progres nyata dalam waktu dekat. (DIX)