Dalam momen yang menggugah nurani, Gerakan Anti Maksiat (GAM) menggelar aksi damai dan audiensi publik pada Senin (23/06/2025) di Gedung DPRD Garut. Sayangnya, langkah moral ini justru dibalas dengan kekecewaan: Bupati Garut (G1) dan Wakil Bupati (G2), yang diundang secara resmi, tidak menampakkan batang hidungnya.
GAM: Ini Alarm Bukan Isu Politik
“Ini bukan ajang demonstrasi politik. Ini panggilan hati nurani,” tegas Ustaz Isur, Koordinator Lapangan GAM. Ia menyebut absennya G1 dan G2 sebagai isyarat minimnya kepedulian terhadap isu-isu fundamental yang menyangkut keselamatan moral anak-anak Garut.
Menurut Ust. Isur, pihaknya telah mengirim surat resmi kepada DPRD agar para pemimpin daerah bersedia hadir dalam audiensi yang membahas meningkatnya kasus-kasus pelecehan dan pencabulan di berbagai wilayah Garut. Namun, ketidakhadiran mereka seolah menjadi tanda bahwa masalah ini belum dianggap sebagai prioritas.
“Kami datang membawa data, bukan hanya spanduk. Kami membawa laporan nyata dari masyarakat, guru, dan tokoh agama. Tapi semua ini seakan dianggap angin lalu,” imbuhnya.
Fakta Tak Terbantahkan: Amoralitas Meningkat, Respons Pemerintah Minim
GAM mencatat, dalam dua tahun terakhir, lonjakan laporan kasus pelecehan anak dan tindak amoral lainnya sangat mengkhawatirkan. Ironisnya, banyak kasus yang tenggelam karena takut, malu, atau tekanan sosial. “Kami bahkan pernah menerima laporan dari guru yang frustrasi karena muridnya menjadi korban tapi tak tahu harus mengadu ke mana,” ucap Ust. Isur.
Hal ini menunjukkan bukan hanya lemahnya perlindungan, tapi juga minimnya sistem pendampingan korban dan penegakan hukum. GAM menegaskan, ini sudah menjadi darurat sosial, bukan sekadar problem keluarga atau oknum.
“Kota Santri” Dipertanyakan: Teglen Tak Sejalan dengan Realita
Salah satu sorotan GAM adalah soal tagline “Garut Kota Santri” yang dianggap hanya menjadi jargon kosong. Ust. Isur menyebut lemahnya infrastruktur moral seperti edukasi karakter, minimnya ruang ibadah yang ramah generasi muda, hingga bebasnya akses konten pornografi di warung internet sebagai bukti degradasi serius.
“Apakah kita rela Kota Santri berubah jadi kota sunyi dari nilai-nilai agama yang sejati?” tanyanya retoris. Ia juga menyebut bahwa pemerintah seolah hanya fokus pada seremonial keagamaan, bukan penguatan substansi nilai moral di akar rumput.
Audiensi Tanpa Hasil, Masyarakat Geram
Audiensi tersebut akhirnya menjadi simbol frustrasi kolektif. Banyak elemen masyarakat dari ormas Islam, aktivis pemuda, hingga pendidik hadir dan menyatakan keprihatinan yang sama. Mereka menyayangkan ketidakhadiran pemimpin utama daerah dalam forum yang sangat krusial ini.
“Kalau sekarang tidak ada sikap tegas, maka jangan salahkan rakyat jika kelak mengambil langkah sendiri,” ujar salah satu peserta audiensi.
Ancaman Aksi Lebih Besar: GAM Siapkan Gelombang Kedua
Sebagai penutup, GAM menyampaikan ultimatum. Jika pemimpin daerah kembali abai dalam audiensi lanjutan yang direncanakan, maka mereka akan menggerakkan aksi moral yang lebih besar. “Kami akan libatkan santri, pemuda, ibu-ibu majelis taklim, bahkan guru-guru yang selama ini diam karena takut,” ujar Ust. Isur.
Ia menyerukan kepada masyarakat untuk berani bersuara, tak hanya menyerahkan nasib anak-anak Garut pada birokrasi yang tidak tanggap.
Pemimpin Daerah Bungkam, Publik Menunggu Sikap Nyata
Hingga berita ini dipublikasikan, belum ada tanggapan resmi dari Bupati dan Wakil Bupati Garut. Upaya konfirmasi melalui Humas Pemkab pun belum membuahkan hasil.
Kini, masyarakat Garut menanti: akankah pemimpin mereka bersedia menanggapi jeritan nurani rakyat, atau terus bersembunyi di balik kursi kekuasaan sementara krisis moral terus menjalar tanpa kendali? (Red)